Taman Bungkul - Oase dan Kebanggaan Warga Surabaya

10 Oct 2014    View : 5529    By : Niratisaya


Hola, Artebianz!

Dari judul artikel, Anda pasti sudah bisa menebak tempat yang hendak saya ulas kali ini. Yep, kali ini saya akan berbagi tentang Taman Bungkul dan sedikit pengalaman tak menyenangkan saya sewaktu memperbarui SIM. Tidak, saya tidak akan menceritakan tentang ketidakprofesionalan petugas. Atau minimnya fasilitas SIM keliling.

Salah satu spot SIM keliling terdekat di rumah saya adalah Taman Bungkul yang terletak di Jalan Raya Darmo. Saya bisa saja menghabiskan kurang lebih sepuluh menit berjalan ke taman yang terletak di salah satu jalan protokol tersebut. Namun saya bersyukur, jiwa pemalas saya merajuk dan membujuk saya untuk mengendarai sepeda motor, karena hari itu bukanlah hari baik yang pernah saya alami.

Pertama, saya mengantre lumayan lama untuk mendapatkan formulir pembaruan. Kedua, begitu ada di depan di depan loket mobil, saya baru sadar kalau saya tidak membawa uang.

Cerdas, bukan?

Entah karena terbawa emosi atau memang ingin membuat amarah saya terevaporasi, alih-alih pergi ke ATM terdekat, saya malah menuju mal terdekat dan tanpa banyak pikir membeli tiga buah roti sebelum kembali ke Taman Bungkul dan kembali mengantre.

(area khusus parkir sepeda)

Setelah menghabiskan sekitar satu jam memperbarui dua SIM, saya memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih dulu di taman seluas 900 m persegi ini. Saya mungkin lupa membawa uang, tapi saya tidak lupa membawa buku sebagai pelarian selama antre. Yes, Artebianz, I'm a bookworm Smile

 

Sejarah Singkat Taman Bungkul

Sisi lain dari dua ketidakberuntungan saya mengantarkan saya pada wajah baru Taman Bungkul. Nama taman ini diambil dari dari julukan Ki Ageng Supo. Beliau adalah ulama seorang ulama di kerajaan Majapahit (abad XV) sekaligus saudara ipar Sunan Ampel.

Tak banyak buku yang mencatat tentang Ki Ageng Supo dan asal-usul julukan beliau. Beberapa sumber yang saya baca menyebutkan ketidakjelasan sejarah itu karena ada banyak versi nama Bungkul. Sejarawan G.H Von Faber dalam bukunya, Oud Soerabaia (1931), mencatat kesan nama Bungkul dalam bahasa Belanda yang kurang lebih berarti: “orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar hukuman. Demikian pula ibu, istri, dan anak-anaknya akan mendapatkan celaka.”

Dibanding hukuman dari pemerintah lokal atau negara pada saat itu, buku tersebut dan cerita yang beredar di kalangan orang-orang tua mengacu pada bala atau tulah. Entah apa sebabnya, Ki Ageng Supo seakan tak mau bila ada orang yang menyelidiki jati dirinya.

 

Taman Bungkul Dulu dan Sekarang

Untuk Artebianz yang belum tahu Taman Bungkul mungkin terkejut begitu mendengar taman yang menjadi salah satu kebanggaan warga Surabaya ternyata dibangun berdampingan dengan makam. Mungkin kalau Artebianz mengunjungi Taman Bungkul 10 tahun yang lalu, bayangan itu terasa nyata. Namun bukan karena makam yang berdampingan dengan Taman Bungkul, tapi karena mainan yang ada di sana. Dengan dua ayunan yang berderit ketika digunakan, perosotan yang keropos, pipa-pipa permainan yang selalu meninggalkan bekas kuning di tangan saat dipegang, dan segala permainan lainnya yang membatasi pengunjung taman. Kecuali mereka yang pengin pacaran atau orangtua yang menemani anaknya bermain.

Taman Bungkul(Di dekat tempat parkir sepeda motor sebelah barat)

Namun wajah suram itu berubah pada 21 Maret 2007, saat Pemerintah Kota Surabaya meresmikan wajah baru Taman Bungkul. Tidak ada lagi lantai berupa pasir dan tanah, mainan yang mengeluarkan bunyi-bunyian aneh, atau memberikan warna kuning saat dipegang. Taman Bungkul yang dibangun ulang dengan konsep sport, Education, dan Entertainment menghilangkan batasan pengunjung taman. Revitalisasi Taman Bungkul itu juga termasuk penambahan jalur khusus bagi penyandang cacat agar mereka dapat turut menikmati fasilitas dan hiburan di taman.

Bila dulu saat berkunjung saya sering kali mencuci kaki karena sandal saya dipenuhi pasir atau harus mengantre karena terbatasnya jumlah mainan, kini anak-anak bisa menikmati permainan lain bila harus menunggu giliran menggunakan fasilitas permainan di Taman Bungkul. Sebab Pemerintah Kota Surabaya telah menambahkan fasilitas lahan untuk papan luncur, sepeda BMX track, amfiteater dengan diameter 33 m (yang ini baru bisa dinikmati kalau sedang ada pertunjukan), dan akses internet nirkabel.

Walau saya agak sedih juga kalau ada anak yang duduk di taman dan masih berkutat dengan ponselnya.

Untungnya, saat mengunjungi Taman Bungkul saya tidak menjumpai pecandu online game di sana. Hanya beberapa bapak yang duduk bersantai setelah membersihkan taman, beberapa kru teve (?), serta ibu dan anak di pojok permainan. Suasana yang adem karena sore dan pepohonan yang membuat udara panas menjadi agak sejuk, mendorong antusiasme saya untuk duduk manis di pinggiran area amfiteater dan membaca buku sambil memakan roti. Berasa di luar negeri rasanya Laughing

Taman Bungkul(Dilarang bersepeda di dalam Taman Bungkul)

Kalaupun ada yang tidak dari Taman Bungkul itu adalah pengunjung muda-mudi yang datang dengan pasangannya, duduk saling menempel, dan mengingatkan saya bahwa sudah saatnya pulang. Sebab tak lama lagi akan semakin banyak yang berpasangan, duduk berdua, saling menempel, dan mengalihkan perhatian saya dari buku.

Selebihnya, menurut saya Taman Bungkul telah bertransformasi, dari sekadar tempat bermain anak dan tempat alternatif kencan yang murah meriah, menjadi tempat hiburan dan nongkrong untuk segala usia. Bukan hanya di Malam Minggu dan Minggu (untuk olahraga), tapi setiap hari dari pagi hingga malam! Asyik, kan, Artebianz?

 

Fasilitas Taman Bungkul

Ada beberapa fasilitas yang menjadikan Taman Bungkul sebagai alternatif tempat nongkrong yang murah bagi Artebianz.

Fasilitas lama yang baru:

  1. Permainan lama yang diperbarui (tidak ada lagi ayunan berderit seperti di film horor),
  2. Telepon umum yang baru, Laughing
  3. Bagian pujasera yang terdiri dari warung-warung yang ditata rapi, dan
  4. Pelataran parkir kendaraan bermotor yang lebih tertata di sekitar taman.

Fasilitas baru:

  1. Area amfiteater di tengah bagian depan taman,
  2. Arena BMX track,
  3. Arena permainan papan luncur,
  4. Pelataran sepeda,
  5. Keran air yang bisa langsung diminum, dan
  6. Nirkabel (hotspot people, hotspot!).

 

Taman Bungkul dan Mimpi Saya

Seiring dengan perbaikan dan popularitas yang meningkat, banyak perubahan yang terjadi di sekitar Taman Bungkul. Taman kebanggaan warga Surabaya ini bukan hanya memiliki pujasera di bagian belakang yang menawarkan menu seperti Rawon, Soto, Bakso, dan lain-lain. Ada beberapa rumah makan dan kedai dengan berbagai makanan yang buka dari pukul 10 pagi hingga 10 malam, serta pedagang kaki lima yang mulai menjejali jalanan sekitar Taman Bungkul.

Satu hal yang saya impikan atas kota Surabaya adalah semakin tertatanya pedagang kaki lima dan bertambahnya fasilitas di taman-taman yang ada di kota. Dari beberapa program variety dan drama Korea saya melihat berbagai pedagang kaki lima yang berjajar rapi di jalanan. Mereka mengenalkan makanan tradisional sekaligus kebudayaan Korea. Sementara di taman-taman kota Korea ada fasilitas alat-alat olahraga yang dapat digunakan oleh warga dengan bebas dan gratis. Inilah yang saya impikan dan harapkan untuk Surabaya.

Kekurangan revitalisasi Taman Bungkul adalah bagian makam Mbah Bungkul sendiri. Entah karena keengganan pihak juru kunci yang ingin menjaga keaslian makam atau karena alasan lain, saat berkunjung ke makam tersebut, saya seperti terlempar ke tempat lain—ke dimensi lain yang sama sekali tidak terhubung dengan Taman Bungkul dan segala hal baru di sana. Seolah-olah saya kembali ke masa kecil saya.

Buuut, perhaps it's only my feeling.

Nah, bagaimana dengan taman di kota Anda tinggal? Silakan ikut share. Siapa tahu suatu hari Tim Artebia punya kesempatan untuk berkunjung ke sana Wink

 

Tempat nongkrong asyik lainnya:

 

 

Referensi:

  • eastjava.com/
  • fasilitasumumsby.wordpress.com
  • nasional.news.viva.co.id

Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Nongkrong Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Laki-laki, Perempuan... Mana yang Lebih Baik?


Figur: Lia Indra Andriana - Dari Seorang Calon Dokter Gigi Menjadi Salah Satu Penerbit Berpengaruh


Kala Kali: Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat


Siti - Perempuan dan Dalamnya Hati


Happy - Mocca Band (Dinyanyikan Ulang Oleh Aldin)


Berkuliner Ala Foodtruck Fiesta di Graha Fairground Surabaya Barat


La Ricchi - Gelato Kaya Rasa di Surabaya


Coban Jahe: Wisata Alam Untuk Mengisi Liburan Singkat


Wawancara Dengan Cindy Owada: Mengenal Lebih Dekat WTF Market Dan Brand Lokal Indonesia


My Toilet Prince - Pintu Pertama


Tiga Puluh Tahunan (Part 1)


Rajukan Sendu