Raga Senja Berjiwa Fajar: Sebuah Renungan Kemerdekaan Untuk Pemuda

20 Aug 2016    View : 3484    By : Nadia Sabila


“Saya ini sudah tua nak, apa lagi yang saya cari jika bukan semata hanya menolong sesama,” Kata Eyang Pandu.

“Saya punya anak, kok, Mbak. Tapi sudah terbiasa bekerja dan bergerak, nggak enak rasanya kalau cuma diam,” kata Ibu Penjual Kupang Sidoarjo.


Kalimat tersebut adalah kalimat sederhana yang menohok nurani saya, diucapkan oleh orang-orang usia senja namun bersemangat fajar. Anyway Artebianz, tulisan ini saya dedikasikan dalam rangka HUT RI ke-71, mumpung hari Kemerdekaan RI dan Hari Veteran (10 Agustus) masih belum kadaluwarsa.

Saya ingin memberikan sepercik inspirasi jiwa untuk raga muda kita, dari pengalaman hidup sesepuh-sesepuh tangguh yang pernah diulas oleh Artebia, yang meski mungkin tak ikut angkat sengaja, namun semangatnya tak patut diabaikan begitu saja.


Kenaifan Tak Kaburkan Semangat Dalam Raga Renta

Sepertinya bukan hanya saya yang pernah bertemu dengan orang-orang tua yang gemar sekali menceritakan masa mudanya di zaman perjuangan. Sepintas, cerita mereka seperti dongeng semata padahal jika kita dengarkan dengan seksama, kisah mereka bukan hanya sebuah memori nostalgia tanpa makna.

eyang_pandu

Seperti dalam kisah Eyang Pandu Pustaka yang diceritakan oleh rekan Mia, misalnya, yang rela berkeliling kampung demi meminjamkan buku-bukunya. Setengah "memaksa" generasi-generasi muda bangsa untuk melakukan kegiatan positif seperti membaca buku.

Contoh lain adalah kisah ibu penjual Kupang yang diceritakan oleh rekan Niratisaya, dimana si Ibu rela repot-repot berjalan kaki dari Sidoarjo ke Surabaya sambil memanggul dagangannya hanya karena ia tidak betah berdiam diri di usia senjanya.

Ada kenaifan dalam perjuangan mereka saat ini. Kenaifan seperti apa? Entah mereka sadari atau tidak, zaman mereka hidup sekarang adalah zaman teknologi canggih. Perjuangan Eyang Pandu sudah bisa digantikan oleh buku elektronik dan akses internet.

Buku kertas ataupun buku elektronik sebetulnya sah-sah saja untuk dibaca. Lagi pula, wujud buku bisa jadi hanya masalah selera. Saya yakin bukan itu juga yang dimaksud oleh Eyang Pandu, melainkan semangat dan budaya membaca yang harus dipupuk.

penjual_kupangSedangkan perjuangan Ibu Kupang sebenarnya bisa disederhanakan oleh layanan aplikasi makanan antar maupun telepon. Mungkin si Ibu, sadar, namun bukannya unjuk rasa menyalahkan zaman atau menyerah meratapi nasib, si Ibu tetap tegar melangkah ke depan meneruskan perjuangan dengan caranya sendiri.

Mungkin dalam hatinya, mereka tak menafikan kenyataan sulitnya berpacu dengan kecanggihan teknologi yang kita saja terengah-engah mengejarnya. Tapi bukannya menyerah lalu membiarkan diri tergerus zaman, mereka tetap mengayuh roda kehidupan mereka sejauh mereka mampu. Raga mereka boleh menua, tetapi api semangat mereka abadi, dan semangat itulah yang menjadi teladan untuk jiwa-jiwa muda seperti kita.

Kekuatan Prinsip Hidup

Dari kegiatannya meminjamkan buku dan membantu mengerjakan tugas sekolah anak-anak di desanya, Eyang Pandu seperti berprinsip, ilmu harus diamalkan. Ajaran ini juga termaktub dalam sebuah hadis Islam dimana orang yang tidak mau membagi ilmu, maka mereka akan memanggul bara api di kepala mereka kelak.

Perpustakaan Kejujuran Eyang Pandu juga merupakan wujud teladannya untuk mengajari anak-anak agar berperilaku jujur, suatu sikap hidup yang mulai langka saat ini. Perpustakaan Kejujuran Eyang Pandu adalah sarana untuk membangun kejujuran dari hal yang paling "remeh".

semangat
Sedangkan prinsip hidup ibu Kupang yang kita teladani adalah ketabahan. Seperti yang diceritakan, rumah ibu dan masa lalu ibu Kupang telah terkubur bersama lumpur Sidoarjo. Mungkin tangisan sempat ada, namun tak menjadikan jiwanya rapuh. Selama nyawa masih dalam raga, sang Ibu Kupang tetap menjalani hari-harinya dengan senyuman.

Mari Kita Renungkan...

diri_sendiriEyang Pandu dan Ibu Kupang adalah dua sosok senja inspiratif yang tepat sekali kita bahas setelah merayakan usia Indonesia yang juga tak lagi muda. Perayaan Kemerdekaan, menurut saya, tak perlu melulu cerita tentang sejarah perjuangan patriotik mengangkat senjata karena sudah bukan zamannya atau tentang menanamkan nasionalisme hiperbola yang tak jelas tujuannya.

Perayaan Kemerdekaan era sekarang adalah tentang bagaimana memerangi sikap negatif dalam diri sendiri. Eyang Pandu dan Ibu Kupang adalah orang yang beruntung, mereka telah "dipaksa" menanamkan semangat karena zaman muda mereka yang menuntutnya.

Sementara zaman muda kita? Kita sudah dikelilingi oleh kemudahan, kepraktisan, dan keinstanan yang seperti pedang bermata dua. Jika tak bijak, segala kemudahan itu bisa mematikan semangat kita, membunuh kejujuran demi mendapat kemudahan, atau menumpulkan ketabahan kita saat diterpa ujian kehidupan. Jangan sampai, raga kita masih di ufuk timur sementara jiwa kita sudah layu menuju senja.

Dirgahayu Ke-71 Tahun Indonesia, Mari Semangat Wahai Pemuda!




Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Ayah Dan Hari Ayah


Critical Eleven - Pesawat, Bandara, dan Biduk Rumah Tangga


Taman Nasional Baluran - Afrika-nya Indonesia


Suicide Squad - A Sweet Treat... Or A Sweet Threat?


Dimas-Lissa: Pudarkan Kapitalisasi Pendidikan Lewat Sekolah Gratis Ngelmu Pring


Icip-Icip Seblak Zoss, Lebih Dari Sekadar Joss


Libreria Eatery - Tempat Pas untuk Memberi Makan Perut dan Otak


Pria Asing Di Pos Kamling


Gambaran Cinta dalam Potret Sendu Lirik Lagu Eyes, Nose, Lips Versi Tablo


Literasi Oktober: Goodreads Surabaya, Faisal Oddang, dan Puya ke Puya


Sajak Orang Rantau


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)