Stigma dan Tradisi: Laki-laki, Perempuan... Mana yang Lebih Baik?

03 Sep 2015    View : 5256    By : Niratisaya


Milenium baru boleh disambut manusia sedunia, internet boleh berevolusi dari Internet Explorer ke Mozilla dan Google—dan kecepatannya jadi 4G, tol SuMo boleh saja sudah nyaris rampung, tapi ada satu hal yang akan selalu tetap: perdebatan dari sebuah pertanyaan kuno tapi nggak pernah habis ditanyakan....

“Mana yang lebih baik, punya anak laki-laki atau perempuan?”

Pertanyaan ini terlontar di benak saya setelah saya beberapa kali menjumpai, dan mendengarkan cerita, orangtua-orangtua yang secara khusus menginginkan—atau mungkin lebih tepatnya mendambakan—seorang anak dengan jenis kelamin tertentu. Lucunya, ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan budaya patriarki atau matriarki.

Pada satu kasus, saya mendapati sebuah keluarga yang memiliki dua orang anak laki-laki berusaha memiliki anak perempuan. Satu malam, saya mendengar mereka berkata bahwa mereka menginginkan anak perempuan. Di hari lain saya bertemu sebuah keluarga dengan tiga anak perempuan bercerita bagaimana si orangtua menginginkan anak laki-laki. Bedanya, beberapa tahun kemudian saya berjumpa lagi dengan keluarga pertama dengan dua anak laki-lakinya dan anak perempuannya, sedangkan keluarga kedua berjalan bersama empat orang anak perempuan mereka.

Tentu saja, sah-sah saja kalau sebuah keluarga menginginkan satu jenis kelamin tertentu. Toh, mereka yang berusaha dan menanggung segala biaya. Namun, mindset dan alasan di balik kenapa mereka menginginkan anak dengan kelamin tertentulah yang membuat saya tepekur, nggak habis pikir.

Dan teringat pada beberapa peristiwa beberapa tahun lalu.

Baca juga: Filosofi Pohon Pisang Pada Hubungan Ayah Dan Anak

 

 

The cases that made me thinking:


Case number one

Sebut saja sebuah keluarga yang akan saya bagi ceritanya dengan Artebianz ini dengan keluarga D dan kepala keluarga itu bernama Pak D.

Pak D memiliki empat orang anak perempuan. Namun, Pak D nggak puas dengan anak-anak yang dimilikinya saat ini. Pada satu kesempatan, saat dia bertandang ke rumah saya, Pak D pun menceritakan kegelisahannya pada ayah saya.

Pak D: Piye iki Mas? Anakku sing ragil wedok maneh….
(Bagaimana ini Mas? Anakku yang ragil perempuan lagi….)
Ayah: Lah, terus kate piye? Wis kadung lahir. Opo kate mbok balekno?
(Lha, terus mau bagaimana? [anaknya] Sudah telanjur lahir. Masa mau dikembalikan?)
Pak D (wajah masam): “Yo nggak ngunu, Mas. Aku pengen dhuwe anak lanang.”
(Ya bukan begitu, Mas. Aku ingin punya anak laki-laki.)
Ayah:

Opo bedane Cak, anak lanang karo anak wedhok?
(Apa bedanya Cak, anak laki-laki dengan anak perempuan?)

Pak D:

Yo bedo, Mas. Ngene iki, nek aku gelut ambek wong, sopo sing mbelane? Nek ono sng kurang ajar ambek aku, sopo sing katene ngajar wong iku?
(Tentu saja beda, Mas. Kalau begini [dengan anak-anak perempuan], kalau aku berkelahi dengan orang, siapa yang bakal bela [aku]? Kalau ada yang kurang ajar sama aku, siapa yang bakal balas menghajar orang itu?)

Ayah:

Koen iki pengen dhuwe anak lanang opo preman?
(Kamu ini pengin punya anak laki-laki apa preman?)

Pak D:

Yo nggak ngunu, Mas. Nek anak lanang kan iso’ nerusno jeneng, iso’ dadi gantiku nek aku mati.
(Bukan begitu, Mas. Kalau anak laki-laki kan bisa meneruskan nama [keluarga], bisa jadi gantiku kalau aku mati nanti.)

Ayah:

Mikir nggak usah dowo-dowo, Cak. Timbang mikir sopo sing mbelani sampean, mikir ae; yo opo carane cek nggak gelut mbek wong liyo. Wong lanang nggak katene iso’ nerusno jenenge wong tuwo nek nggak ono’ wong wedhok. Nek anak-anake sampean nikah, sampean yo bakal dhuwe anak lanang, Cak.
(Berpikir nggak perlu jauh-jauh, Cak. Daripada memikirkan siapa yang bakal membela kamu, pikir saja; bagaimana caranya supaya nggak berkelahi dengan orang lain. Laki-laki nggak akan bisa meneruskan nama orangtua kalau nggak ada perempuan. Kalau anak-anakmu menikah, kamu juga bakal punya anak laki-laki, Cak.)

Sumber: birthandbeyondmagazine.com

Sebagai anak perempuan, mendengar pertanyaan Pak D, tentu saja saya shock. Tanpa babibu, lihat kanan-kiri, Pak D dengan mudah melontarkan apa yang ada di pikirannya.

Untung saja, saat itu saya sedang duduk agak jauh dari ayah saya dan Pak D—dan punya buku sebagai “tempat bersembunyi”. Namun, pertanyaan Pak D membuat saya tertohok.

Sakitnya tuh di sinih~!


Belum hilang rasa sakit karena curhatan Pak D, meluncur lagi satu ucapan yang segera bak bogem mentah.

Bukan karena ucapan menyakitkan dari teman ayah saya yang lain, tapi dari sesama perempuan.

Baca juga: Ayah Dan Hari Ayah

 

Case number two

Peristiwa kedua yang membuat saya berpikir ulang mengenai keberadaan dan eksistensi saya sebagai seorang perempuan terjadi ketika saya menemani Ibu mengunjungi salah seorang temannya. Selayaknya pertemuan yang hanya terjadi setahun satu-dua kali, Ibu dan temannya melepas rindu sambil berbagi cerita—that and gossips Laughing

Dari cerita tentang kenangan semasa kecil, topik percakapan pun mulai bergulir ke ranah keluarga masing-masing: Ibu dan temannya, let’s call her Tante E.

Tante E bercerita tentang keluarga dan anak-anaknya—bagaimana anak perempuan pertamanya sudah menjadi istri seorang dengan jabatan tinggi di sebuah perusahaan BUMN, dan bagaimana anak keduanya sedang mempersiapkan pernikahannya.

“Gimana anak kamu? Sudah nikah? Atau sudah punya pacar?” tanya Tante E.

Ibu tersenyum sambil melirik ke arah saya. “Baru lulus, belum sempat mikir juga anaknya.”

“Lho? Baru lulus S-1? Kan sepantaran sama anak pertamaku.” Tante E kembali bertanya dengan nada yang agak tinggi. Sepertinya nggak percaya.

“Nggak.” Ibu tersenyum kalem. “Anakku lebih tua tiga tahun dari anakmu.”

“Lha terus mau nunggu apa lagi?” kejar si tante. “Masa kalah sama anak pertamaku? Sudah punya anak umur dua tahun, lho.”

Saat itu saya pengin ngomong, ‘Bentar ya Tante, aku ganti sepatu lari dulu biar bisa ngejar anak Tante.’ Tapi saya hanya diam dan tersenyum. Kecut, karena tahu ke mana arah pembicaraan ini nantinya.

“Dia mau kerja dulu—manfaatin pendidikan S-2 dia.” Ibu berkata.

“Lho, S-2?” Tante E terbelalak menatap saya. Belum sempat saya mengiyakan, si tante lanjut berkata, “Ngapain sekolah tinggi-tinggi? Wong anak perempuan nanti juga jatuhnya ngurus keluarga, suami, sama anak. Cari aja suami yang mapan. Sudah, cukup.”

Saya nyengir menelan umpatan dan rasa pahit di tenggorokan. Sementara itu, Tante E tersenyum renyah dan meneruskan nasihatnya, “Sudah telanjur, mau diapain lagi. Pokoknya jangan S-3 dulu ya, Nduk. Ntar susah nikah.”

Blip.

Dari situ saya segera mematikan kendali dan mulai menekan tombol auto-pilot.

Baca juga: Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat

 

 

Saya, Kita, dan Stigma Masyarakat

Cerita empat keluarga itu membuat saya termenung, saat itu dan ketika saya menulis artikel ini, serta sadar: semaju-majunya teknologi dan perkembangan yang diadaptasi Indonesia dari negara-negara lain, ternyata masih saja ada tupai yang jatuh—woups… maksud saya pemikiran tradisional yang masih dipelihara oleh masyarakat kita.

Sebagai salah satu manusia—I won’t say woman, karena sebelum berstatus perempuan saya adalah manusia, sama seperti laki-laki—yang kenyang dengan ilmu-ilmu yang ditebarkan para dosen dan penulis-penulis, tentu saja saya bisa dengan mudah mengusir pemikiran-pemikiran yang membuat saya minder menyandang status perempuan.

Sumber: sodoma.net

Tapi kali ini ada yang perlu saya pastikan di sini: apakah orangtua saya, seperti orangtua-orangtua Jawa tradisional lainnya, sempat mengharapkan saya terlahir sebagai laki-laki. Saya pun menanyakan hal ini pada ayah saya pada satu kesempatan.

Saya bertanya, “Yah...nggak menyesal punya anak perempuan?”

Saya juga melontarkan semua hal yang menjadi pemikiran orang-orang yang sempat saya dengar: apakah dia nggak menyesal memiliki anak perempuan yang “nggak akan bisa meneruskan nama keluarga”, dan memberikan kebanggaan seperti anak laki-laki pada umumnya.

Ayah saya tersenyum. Menyadari saya mendengar potongan-potongan pembicaraannya dengan kawan-kawannya. Dia lalu bercerita tentang seorang temannya yang mengunjunginya sewaktu saya baru lahir, alih-alih langsung menjawab pertanyaan saya. Ayah saya berkata, seperti umumnya laki-laki kelahiran Surabaya kebanyakan, si teman nggak menyapanya. Dia malah melontarkan kalimat: “Wah, anakmu perempuan? Cepat jadi kakek nanti!”

Ayah saya lantas menjawab dengan, "Ayah nggak pernah menyesal punya anak perempuan. Bukannya Tuhan berfirman, 'Aku tiupkan rohku...' bukannya 'Aku tiupkan roh lelaki, atau roh perempuan....' Kalau Tuhan saja nggak membedakan laki-laki dan perempuan, kenapa Ayah harus?

“Dan soal meneruskan marga... kamu anak Ayah, tentu saja kamu adalah penerus marga keluarga ini. Buat apa punya anak laki-laki kalau nggak bisa membuat bangga. Anak perempuan juga bisa membuat orangtuanya bangga. Kamu juga bisa.”

Pemikiran ayah saya, yang moderat dan berbeda dari lingkungan dan masyarakat tempat saya tinggal, membuat saya tepekur dan memikirkan tentang betapa cintanya masyarakat pada perbedaan dan pengotak-ngotakan.

Mana yang lebih baik? Sains atau sosial?

Mana yang lebih baik? Matematika atau bahasa Inggris?

Mana yang lebih baik? Anak laki-laki atau perempuan?

Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bukan hanya membuat pikiran semakin sempit, tapi juga hati.

Sementara Sang Khalik nggak pernah membeda-bedakan ciptaan-Nya. Apakah si ciptaan memilih kelas sosial daripada sains, atau si ciptaan suka matematika daripada bahasa Inggris. Soal gender… bukannya Ia sendiri yang menciptakan laki-laki dan perempuan? Yang tentu saja bukan untuk saling bersilangan, tapi untuk saling melengkapi—dengan segala kelebihan, kekurangan, dan perbedaan keduanya.

Ia hanya meniupkan roh pada calon janin.

Karena itu, khusus untuk artikel kali ini saya nggak akan menarik kesimpulan. Saya yakin, kita semua cukup kritis dan cerdas untuk menarik kesimpulan sendiri, lalu menyesuaikannya dengan pemikiran dan keadaan lingkungan kita. Demi menemukan satu pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri:

“Mana yang lebih baik untuk kehidupan kita?”

Setiap kali kita dihadapkan pada pilihan pada hidup. Bukannya melemparkan pertanyaan itu pada orang lain dan mengira kita tahu apa yang lebih baik untuk orang itu. Let us all live our own life while making a better living.

Baca juga: Mengasah Rasa Lewat Kehidupan dan Gelombang Ujian

 

 

PS: di tengah pembicaraan saya dan ayah saya, seorang teman ayah saya muncul bersama anak laki-laki kebanggaannya, yang lima tahun lebih muda dari saya. Di sebelah si anak laki-laki ada seorang perempuan muda yang menggandeng seorang anak kecil. Pada kami, teman ayah saya itu memperkenalkan si perempuan, “Kenalkan, ini menantu dan cucuku.”

 

 

 

Header: abeautifullittleadventure.com

 

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Om Telolet Om, Memanfaatkan Isu Viral Untuk Kemaslahatan Umum


Einstein Aja Ingin Tahu! (Jilid 2)


Leiden, Kota Sarat Sejarah Dalam Balutan Puisi Indah


Me Sharing A Copy of My Mind


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


Nikmatnya Sop Buntut di


Taman Bungkul - Oase dan Kebanggaan Warga Surabaya


Tiga Puluh Tahunan (Part 1)


Anti-Hero - Menjadi Pahlawan dengan Tidak Menjadi Pahlawan


Wawancara Dengan Cindy Owada: Mengenal Lebih Dekat WTF Market Dan Brand Lokal Indonesia


Sunyi yang Tak Dicari


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Enam)