Ketika Media Sosial Menghilangkan Esensi Makhluk Sosial

08 Apr 2015    View : 5061    By : Nadia Sabila


Media sosial masa kini, mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Mungkin Artebian sudah sering mendengar jargon tersebut. Memang benar adanya, media sosial saat ini tumbuh bagaikan satu nyawa dengan gadget alias alat komunikasi elektronik. Telepon genggam tak hanya untuk SMS atau telepon, namun juga sebagai alat yang menghubungkan si empunya dengan "dunia luar" dan berubah istilah menjadi telepon pintar alias smartphone. Bahkan, ada anggapan lebih mending ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone atau gadget.

Berbagai platform media sosial pun menjamur - mulai dari Facebook, Twitter, Whatsapp, Line, Instagram, WeChat, KakakoTalk, Path, dll - saling berlomba mendapatkan pengguna. Bak tersihir, seseorang yang baru memiliki gadget akan mengunduh semua platform itu ke dalam gadget-nya, meskipun isi kontaknya adalah orang-orang yang sama dan belum tentu semuanya terpakai, atau bahkan, belum tentu ada pulsa internetnya. "Yang penting eksis", begitu dalih mereka.

media_sosial
Tak terkecuali, saya pun pernah menjadi seperti itu. Saat baru memiliki handphone android beberapa tahun lalu, ingin rasanya memindahkan semua aplikasi yang ada di Playstore ke dalam gadget android saya, tapi apa daya, kapasitas penyimpanan memori tak mengizinkan. Akhirnya, saya pun berusaha memilih aplikasi yang paling banyak digunakan oleh teman-teman saya.

BBM, Path, Instagram, Whatsapp, dan Line, akhirnya menjadi platform media sosial pilihan saya. Senang sekali rasanya bisa mengikuti perkembangan dunia sosial, mengetahui kabar-kabar fakta maupun gosip-gosip terbaru, dan apa saja yang dilakukan oleh kawan-kawan saya yang dipublikasikan di media tersebut. Foto-foto berbagai gaya dan berbagai peristiwa dengan mudah dipamerkan ke khalayak. Tak ketinggalan, foto berbagai makanan mulai dari sekedar nasi bungkus, sampai dengan makanan dalam plating berkelas di restoran mewah bermunculan. Check in di tempat-tempat populer, di dalam dan luar negeri, seolah menjadi hal yang wajib dilakukan. Belum afdol rasanya kalau orang belum tahu, kita sedang berada di tempat yang menjadi idaman banyak orang.

Baca juga: Mengajar Itu Layaknya Orang Yang Ingin Membina Hubungan, Butuh Proses PDKT

 

 

Dampak Positif Media Sosial

Satu bulan, dua bulan, enam bulan, saya merasa normal-normal saja menjadi pengguna media sosial, bahkan Whatsapp dan BBM, sukses menjadi sarana silaturrahim yang baik. Undangan ke grup-grup obrolan dengan kawan-kawan lama dan saudara-saudara, satu per satu saya terima. Saya bisa merasakan kehadiran mereka, dan mereka tahu saya ada. Kehampaan sempat saya rasakan ketika baterai ponsel habis saat berada dalam perjalanan jauh ataupun ketika sinyal hilang. Ada yang kurang rasanya jika tidak memencet-mencet gadget. Bahkan yang paling parah, saat berkumpul dengan teman-teman pun, kami seolah lebih memilih "berbicara dengan mereka yang ada di gadget" dibandingkan dengan mereka yang nyata-nyata ada di sebelah kita.

meet_up
Path adalah salah satu media sosial yang paling sering saya online-kan, karena banyak teman sejawat yang menggunakannya. Pada awalnya, saya enjoy dalam memantau perkembangan kawan-kawan di Path. Banyak postingan bertemakan humor, selain itu, publikasi foto di platform ini bisa utuh tidak perlu di-crop seperti di Instagram sehingga kita bisa lebih puas. Satu tahun kemudian, saya mulai merasa jenuh melihat postingan teman-teman saya di media sosial yang juga menyediakan fitur untuk check-in di suatu tempat itu.

 

 

Media Sosial Sebagai Ajang Pamer Eksistensi Dan Hedonisme

Ada perasaan seperti rasa jengah melihat postingan mereka yang cenderung pamer gaya hidup hedonisme. Foto-foto serba wah bertebaran, mulai dari makan makanan mahal hampir setiap hari, foto selfie, berkumpul di berbagai cafe populer, melancong ke tempat-tempat wisata bergengsi, melanglang ke luar negeri, bahkan sampai rentetan kartu kredit pun mereka pamerkan dalam foto di platform tersebut.

pathCheck in di Path

Entah siapa yang mengawali postingan-postingan semacam itu dan apa tujuannya, yang jelas, saat itu saya betul-betul merasa kecentok (istilah Jawa untuk perasaan kapok dan kecewa yang mendalam atas perilaku seseorang) dengan segala publikasi di akun berlambang huruf P bulat tersebut. Saya merasa tidak mendapat banyak hal positif dari foto-foto dan perbaruan-perbaruan mereka. Alih-alih bertukar pikiran atau kritik-kritik sosial yang membangun, update yang mengutamakan gengsi semata semakin menjadi-jadi, seolah mengatakan "jangan update kalau Anda tidak bisa membuat orang lain kagum atau iri dengan kebahagiaan Anda; atau Anda akan malu."

Alhasil, saya pun menonaktifkan notifikasi dari akun tersebut dan tidak mau membukanya selama beberapa lama. Saya merasa stres dan bosan dengan hal-hal yang hanya memamerkan kemewahan semata, tanpa ada esensi manfaat yang diberikan. Media sosial ini hanya menjadi ajang eksibisi mereka yang membutuhkan pengakuan eksistensi diri.

Baca juga: Traveling: Mimpi, Destinasi, Tujuan, Makna

 

 

Fakta-Fakta Hubungan Manusia Dan Sosial Media

Apa yang saya rasakan tersebut ternyata bukanlah sentimen belaka. Para pakar sosiologi dan psikologi telah banyak sekali melakukan riset mengenai fenomena media sosial ini. Slogan satir "mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat agaknya memang benar.

1. Modernisasi Interaksi Sosial
Interaksi mulai memasuki era dimana fisik tak harus saling bertemu. Menurut George Ritzer, akibat modernitas hubungan ruang dan waktu menjadi terputus, hingga kemudian yang perlahan-lahan terpisah dari tempat, tertulis bukunya Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.

2. Orang Introvert Cenderung Lebih Aktif Di Media Sosial
Orang yang pendiam cenderung lebih aktif dalam mengungkapkan perasaanya di media sosial. Hal ini telah dibuktikan dalam sebuah penelitian yang dibahas oleh psikolog, Yuanita Setyastuti, di mana media sosial akan menjadi pelampiasan bagi orang-orang introvert untuk lebih proaktif. Jadi tak jarang, kita menemui orang yang asyik sekali diajak mengbrol melalui chatting media sosial. Namun saat bertata muka langsung, suasana jadi kikuk dan ia tak bisa menutupi ke-intovert-annya.

3. Media Sosial Sebagai "Panggung" Drama
Bahkan teori dramaturgi pun bisa dijadikan dasar dalam mengkaji perilaku manusia dalam sosial media. Erving Goffman menyebutkan bahwa manusia bisa berperilaku layaknya aktor demi mengesankan lawan interaksinya. Inilah terkadang yang kita temui di media sosial, di mana kita kenal seorang kawan yang keadaan ekonominya biasa saja. Namun di media sosial, ia selalu bisa memamerkan kemewahan dalam hidupnya. Tujuannya adalah hal yang disebut Goffman sebagai manajemen daya tarik.

topeng_facebook

4. Twitter Merajai Sosial Media Dunia
Data statistik menunjukkan bahwa Twitter merupakan media sosial yang paling berpengaruh dengan pengguna terbanyak di dunia. Pada tahun 2013, Indonesia menempati ranking ke-5 sebagai pengguna Twitter terbanyak. Di Amerika Serikat, Twitter juga populer digunakan oleh masyarakat, dimana data statistik lokal menunjukkan bahwa 40% pengguna Twitter di AS cenderung memilih Partai Demokrat.

5. Facebook Sebagai Cinta Pertama
Sebagai media sosial pelopor, Facebook masih merupaka media sosial terbesar saat ini. Di Amerika Serikat, seorang pengguna Facebook akan mengecek akunnya 5 kali dalam sehari. Di Indonesia sendiri, mayoritas pengguna Facebook adalah laki-laki dengan persentase 59 persen, dan perempuan 40%. Selain itu, warga AS jarang sekali menggunakan fasilitas check-in, 74% warga AS tak familiar dengan fitur check-in, baik di Facebook atau Foursquare.

 

 

Akhir Kata....

Tak habis-habis rasanya jika kita berbicara mengenai sosial media di era seperti sekarang ini. Pada intinya, kita semua harus menjadi pengguna media soaial yang bijak dan memiliki etika. Berpikir terlebih dahulu sebelum mem-posting sesuatu dan bagikan sesuati yang baik dan bermanfaat. Selain itu, jika Artebian merasa jenuh dan 'kecentok' seperti yang saya rasakan, ada baiknya Artebian sementara mangkir dari dunia maya. Penting lho Artebian, bahkan artis-artis Hollywood sudah banyak yang melakukannya, agar terhindar dari penyakit psikologis seperti bipolar. Mereka menghindari media sosial agar tak stres. Dan utamanya, agar tak kehilangan fitrah manusia sebagai makhluk sosial, selalu luangkan waktu sejenak untuk meninggalkan smartphone kita dan menjalin interaksi langsung dengan orang-orang terdekat.

Selamat bersosialisasi dengan bijak Artebian!

twitter

Baca juga: Takdir Dan Pertanda-Pertanda




Tag :


Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Generasi Global dalam Industri Pertelevisian: Menelisik Makna di Balik


Figur: Lia Indra Andriana - Dari Seorang Calon Dokter Gigi Menjadi Salah Satu Penerbit Berpengaruh


Einstein Aja Ingin Tahu! (Jilid 1)


Stand By Me Doraemon


Happy - Mocca Band (Dinyanyikan Ulang Oleh Aldin)


Kober Mie Setan, Gresik Kota Baru


Kedai Tua Baru Surabaya: Sajian Ala Malaysia-Jawa


Dieng: Sebentuk Nirwana di Indonesia - Edisi Kompleks Candi Arjuna


WTF Market 2.0 - Imajinasi, Mimpi, dan Masa Depan


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Murni dan Tahun Baru


Termangu Gadis Itu