Traveling: Mimpi, Destinasi, Tujuan, Makna

31 May 2015    View : 7350    By : Nadia Sabila


 Traveling, trip, mbolang, dan segala ungkapan yang pada intinya adalah jalan-jalan, sedang nge-tren di kalangan pemuda Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini. Entah siapa yang memulai, begitu banyak buku dan acara televisi yang menguak tentang serunya sebuah perjalanan serta "surga-surga" dunia yang masih tersembunyi, baik di dalam maupun luar negeri, seolah menjadi undangan umum bagi semua kalangan untuk mengunjunginya.

Di Indonesia saat ini, aktivitas penjelajahan wisata alam kian digandrungi. Hobi mendaki gunung mendadak populer dan menggaet banyak peminat, semakin tinggi dan semakin langka gunung yang didaki, semakin bangga hati ini. Pulau-pulau indah tak berpenghuni satu per satu ditemukan, pantai-pantai perawan pun mulai "diperawani", direnangi, dan diselami. Dan banyak lagi kegiatan penjelajahan yang menguak indahnya negeri ini. Didukung dengan maraknya media sosial, kita bisa dengan mudah mengunggah foto-foto perjalanan tersebut. Buntutnya, terpaculah pula para pemuda untuk turut serta dalam "pameran foto nyata di dunia maya". Bakat-bakat fotografi terpendam pun perlahan-lahan tergali.

fotograferSumber: djarumsuper.com

Positifkah fenomena ini? Tentu! Terutama untuk sektor pariwisata. Bahkan ada sebuah meme di sebuah akun Instagram yang dengan satirnya menulis, "Kasihan, masih muda tahunya cuma jalan-jalan di mal".

Wahai! Menusuk sekali sindirannya. Hehehe..

Walaupun traveling adalah pilihan, yang mana hak asasi kita semua mau melakukannya atau tidak, tapi sindiran itu memang ada benarnya. Indonesia dan dunia ini terlalu indah untuk didiamkan saja. Terlalu sayang untuk melihatnya hanya dari kacamata orang lain, dengan syarat, kita memang mampu secara fisik maupun finansial untuk melakukan sebuah perjalanan.

Alhasil, banyak pemuda yang sukses terkena "racun" traveling (termasuk saya). Tak tahan untuk tidak ikut menjelajah. Terlepas dari niatnya hanya sekedar ikut-ikutan tren atau memang murni ingin melakukan perjalanan, mereka dengan mudahnya menasbihkan diri sebagai seorang traveler. Kaos-kaos bertuliskan "I'm A Traveler" dikenakan dengan bangga. Entah mereka mengerti atau tidak, ada makna yang sangat dalam dibalik sebuah traveling atau perjalanan itu sendiri.

kaos_travelerIlustrasi kaos

 

 

Arti Traveling: Penderitaan

Tahukah Artebianz? Kata "traveling" pada dasarnya sudah mengalami pergeseran makna yang jauh sekali.

Kata "travel" sendiri diperkirakan berasal dari Bahasa Prancis Lama "travailler" yang artinya adalah bekerja keras dengan penuh penderitaan. Menurut kamus Merriam-Webster, di Inggris abad pertengahan, kata "travelen" digunakan untuk mengungkapkan penderitaan dan juga kerja keras. Baru setelah abad 14 kata "travel" digunakan untuk mendeskripsikan sebuah perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan.

Baca juga: Mengajar Itu Layaknya Orang Yang Ingin Membina Hubungan, Butuh Proses PDKT

 

 

Sejarah Dan Tujuan Traveling

Traveling sendiri memiliki sejarah panjang dengan berbagai tujuan. Tujuan di sini artinya adalah maksud dan hal yang ingin dicapai dari melakukan sebuah perjalanan. Perjalanan sudah dilakukan oleh manusia sejak jaman pra sejarah, di mana manusia hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan lahan pertanian, yang dikenal dengan istilah nomaden. Bisa dikatakan perjalanan adalah kebutuhan manusia untuk bertahan hidup.

kompas
Adapula perjalanan untuk kebutuhan spiritual, religi, atau peziarahan. Dalam beberapa agama, perjalanan adalah bagian suatu keharusan untuk memperkuat keimanan. Sebagai contoh, Islam mewajibkan umatnya untuk berhaji jika mampu. Dalam agama Budha, Sidharta Gautama juga mengalami masa pengembaraan demi mencapai Pencerahan Sempurna lalu berkelana untuk menyebarkan Dharma dengan penuh kasih.

Tujuan perjalanan untuk berekspansi atau memperluas kekuasaan pun juga ada. Sebagai bangsa yang pernah dijajah, kita tentu sudah mengetahui bangsa-bangsa lain yang pernah menginjakkan kaki di negeri ini, menempuh perjalanan jauh dari tanah mereka ke Indonesia untuk berdagang dan memperluas daerah kekuasaan.
 
Nah, sedangkan perjalanan dengan tujuan untuk berpariwisata dimulai dari Yunani. Menurut catatan dari Dosen Unair, Dr.Sri Endah Nurhidayati, dahulu kala pariwisata merupakan hak khusus orang-orang borjuis saja serta sebagai bagian dari fasilitas eksklusif yang memebedakan dengan orang miskin/rakyat jelata. Pada saat itu di Yunani  sudah dibangun resor untuk bersantai di luar kota atau sepanjang garis pantai. Beberapa obyek yang terkenal saat itu antara lain Kota Dephne yang  terkenal dengan sumber air panas dan Balae yaitu suatu kawasan pantai yang mewah. Begitupula pada zaman kekaisaran Romawi, sudah ada obyek wisata (Colosseum/Forum), di mana kala itu wisatawan dapat menikmati keindahannya, pertunjukan yang digelar di dalamnya.

colosseumColosseum - Italia

 


Destinasi Traveling

Well, satu hal yang membuat saya tergelitik untuk menulis tentang topik traveling ini adalah perdebatan mengenai destinasi wisata yang terjadi antara saya dan sejumlah kawan di grup obrolan beberapa waktu lalu. Seorang kawan mengajak untuk ber-backpacker ria ke luar negeri, sedangkan kawan yang lain menolak dengan alasan "negeri sendiri saja belum habis dijelajahi".

Mengamati perdebatan mereka, saya mengatakan bahwa destinasi wisata adalah sepenuhnya selera dan impian. Masing-masing individu mempunyai kota impiannya masing-masing. Jika memang tidak tertarik dengan destinasi yang ditawarkan, tolak saja.

 

 

Indonesia Sudah Indah, Luar Negeri Gaya-Gayaan Saja

Contohnya, teman saya si A yang gemar sekali pasang status akan kecanduannya pada traveling, mendaki gunung, dan menjelajah alam. Foto-foto display picture tentang "kegilaannya" akan menjelajah alam ia ganti sehari 3 kali seperti minum obat. Sedangkan destinasi traveling si A ini belum jauh-jauh dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.

destinasi

Lain dengan Si B. Ia jarang memposting foto jalan-jalan, tak pernah juga menggembar-gemborkan kegemarannya bertualang. Tetapi sekalinya si A jalan-jalan, ia langsung memenuhi lini masa akun media sosialnya dengan foto jalan-jalan menjelajah Eropa atau juga ke wilayah-wilayah traveling "kelas eksekutif" di Indonesia Timur seperti Raja Ampat atau Flores, yang langsung membuat "traveler" yang hanya mampu melakukan perjalanan dalam provinsi (termasuk saya), ngiler setengah mati melihat foto-fotonya.

Beda lagi Si C yang pendaki gunung dan baru merintis sebuah biro perjalanan. Ia pernah sedikit nyinyir dengan keinginan saya untuk jalan-jalan ke luar negeri, "Ngapain sih orang-orang itu sibuk ke luar negeri, bangga-banggain foto ke Singapura yang ngga ada apa-apanya, jauh-jauh liburan ke Phuket, padahal di Indonesia lho udah ada. Lebih bagus malah! Gaya-gayaan aja kali ya,"

Idealisme si C ini bahkan begitu ekstrim: pantang ke luar negeri sebelum menjelajahi Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Saat ini ia juga sedang bekerja keras menabung dan mengumpulkan uang untuk mengikuti program satu bulan keliling Indonesia dengan kapal laut.

Baca juga: Takdir Dan Pertanda-Pertanda

 

 

Manusia Dan Traveling Impiannya Masing-Masing

Pernyataan si C itulah yang paling "menggemaskan" bagi saya. Saya hanya tersenyum saat ia mengutarakan pernyataannya tersebut meski saya tak setuju sepenuhnya. Saya segan dan menghormati orang yang berpendirian kuat dan idealis. Akhirnya, ketidaksetujuan itu saya ungkapkan dalam tulisan ini.

 

mimpi_traveling

Kembali lagi seperti apa yang saya utarakan saat teman-teman saya berdebat mengenai DESTINASI wisata dalam atau luar negeri: ini adalah tentang IMPIAN, tentang SELERA. Tak perlu menyinyiri destinasi traveling seseorang, karena impian dan selera orang tak bisa disalahkan atau dibenarkan. Satu hal juga yang terpenting, kemampuan setiap individu, baik fisik maupun finansialnya juga berbeda-beda. Dan, apa TUJUAN dari traveling-nya itu.

Saya setuju sekali dengan si C dalam hal keindahan Indonesia, tetapi saya kurang setuju dengan cap "gaya-gayaan" bagi pelancong yang mendambakan destinasi luar negeri. Ada dua poin dalam kontradiksi saya dengan pernyataan si C.

Poin pertama, entah Si C menyadari atau tidak, estimasi biaya untuk melancong ke luar negeri dewasa ini terkadang lebih murah dibandingkan dengan destinasi eksekutif di negeri sendiri. Untuk kelas yang sama, biaya jalan-jalan ke Singapura atau Thailand jauh lebih murah dibandingkan biaya ke Raja Ampat. Di sinilah kemampuan finansial ditekankan, jadi anggapan bahwa "luar negeri" sama dengan "gaya", saya rasa tidak sepenuhnya benar.

raja_ampatRaja Ampat, sumber: indonesiatravel.net

Poin kedua, tujuan dari traveling itu sendiri, yakni apa yang seseorang cari dari perjalanannya. Ada yang hanya sekedar melepas penat dari rutinitas dan ingin disuguhi panorama alam yang indah; Adapula yang ingin merasakan pengalaman sosial yang berbeda-beda.

Untuk tujuan pertama, alam Indonesia bisa dijadikan pilihan utama, boleh juga merasakan dinginnya salju di Jepang, karena di Indonesia tidak ada salju, sah-sah saja karena mungkin itulah mimpinya. Untuk tujuan kedua, destinasi ke luar negeri memang akan memberikan tantangan tersendiri, mengingat bahasa dan kebudayaan yang akan sangat berbeda, ditambah lagi dengan kesabaran mengurus dan menghadapi sistem keimigrasian tiap negara. Ada kepuasan tersendiri jika seseorang bisa merasakan dan melewati itu semua.

buku_traveling

Jika Artebianz saat ini sedang doyan membaca buku-buku tentang traveling, Artebianz bisa membuktikan poin-poin yang saya sampaikan tadi dari penulis yang berbeda-beda. Apa yang ditulis oleh Trinity dalam The Naked Traveler, sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Agustinus Wibowo di Titik Nol dan seri-seri lainnya.

Trinity menulis dengan gaya yang ringan, sementara Agustinus menelaah perjalanannya dengan serius dari makna. Ada pula The Jilbab Traveler karya Asmanadia yang juga memberikan tips-tips traveling keluar negeri bagi wanita berjilbab, dan masih banyak lagi travel writer lainnya dengan tujuan dan destinasi perjalanan mereka masing-masing, tentunya, sesuai dengan mimpi mereka juga.

 

 

Penutup: Hidup Adalah Perjalanan

Saya setuju dengan Agustinus Wibowo di sebuah tulisan dalam bukunya Titik Nol yang saya tafsir sendiri, bahwa ada tanggung jawab besar dalam menyandang status sebagai "traveler sejati".

Zaman sekarang, anak-anak muda, karena hobi jalan-jalan dan sering jalan-jalan saja sudah dengan bangga mengakui dirinya sebagai "traveler" bahkan "wanderlust". Tidak salah memang, tidak ada universitas khusus yang menerbitkan ijazah sebagai traveler, pelancong, atau pengembara sejati. Sah-sah saja meneriakkan "I'm a traveler". Namun, alangkah baiknya jika perjalanan kita mempunyai tujuan, yang setidaknya, dapat membuat kepribadian kita menjadi lebih baik.

Yang sudah atau masih bermimpi traveling ke luar negeri, diharapkan bisa menjadi lebih arif dalam memaknai hubungan sosial dan perbedaan. Yang telah atau masih mendamba untuk menjajal alam Indonesia, diharap lebih melek lingkungan dan turut serta dalam menjaga kelestarian alam bumi pertiwi.

quoteSumber: searchquotes

Tak perlulah berdebat, destinasi ini yang betul, destinasi itu gaya-gayaan. Ingatlah, mimpi, tujuan, dan kemampuan tiap orang. Yang penting lagi, traveler yang baik adalah traveler yang mampu menyerap dan menyaring sisi-sisi positif yang didapatnya dari perjalanan yang ia lakukan dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari, karena kehidupan ini sendiri adalah sebuah perjalanan menuju kehidupan berikutnya.  

"Setelah perjalanan panjang ini, bagiku "eksotisme" menjadi kata yang sangat absurd. Mereka bukan kebanggaan kita, mereka bukan objek, bukanlah target kemenangan.”
-Agustinus Wibowo, Titik Nol-


Baca juga: Mengasah Rasa Lewat Kehidupan dan Gelombang Ujian

 

 




Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Mengajar Itu Layaknya Orang Yang Ingin Membina Hubungan, Butuh Proses PDKT


Sabtu Bersama Bapak


Air Terjun Coban Sewu: Niagaranya Indonesia (part 1)


Art Idol


Bicara Tentang Orizuka - Menulis Adalah Passion, Bukan Occupation


Dari Surga Belanja Menjadi Surga Makanan, Kedai Tunjungan City


Perpustakaan Balai Pemuda Surabaya


Oma Lena - Part 2


Insya Allah - Bila Allah Sudah Berkehendak


Pasar Seni Lukis Indonesia 2015


Satu Kali Seminggu


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Enam)