Literasi Desember: Literaturia, Budaya Berpikir Kritis, dan Literasi Media (Bag. 1)

22 Dec 2016    View : 3114    By : Niratisaya


Cuaca Kota Surabaya sama sekali nggak bisa ditebak akhir-akhir ini. Termasuk ketika Surabaya Youth menggelar festival literasi mereka, Literaturia, yang kedua pada tanggal 03 Desember lalu.

Pagi yang semula cerah, mendadak dibayangi oleh mendung yang menggantung pekat di langit. Namun, hal ini sama sekali nggak menyurutkan semangat panitia Literaturia yang dengan penuh semangat menyiapkan venue di salah satu sudut SUB Co., yang berlokasi di Gedung Graha Resident, Jalan Darmo Harapan No. 1.

Setelah ruang indoor yang digunakan untuk acara diskusi dan workshop siap, tidak lama kemudian, satu per satu peserta acara Literaturia datang, memasuki ruang indoor untuk mengikuti acara pertama Literaturia….

 

 

YSEALI - Sikap Kritis dan Kegemaran Membaca

Di paruh pertama, Literaturia mengisi event-nya dengan program diskusi. Kali ini mereka menghadirkan YSEALI (Young South-East Asian Leader Initiave) , sebuah program pertukaran mahasiswa Indonesia ke Amerika selama lima minggu. Nggak terlalu berbeda dengan agenda pertukaran pelajar secara umum, YSEALI memperkenalkan budaya dan kehidupan masyarakat—khususnya pelajar Amerika, tentunya—kepada pelajar di seluruh Asia Tenggara. Tetapi satu hal yang mencolok adalah YSEALI berusaha untuk mendidik setiap pelajar agar memiliki jiwa pemimpin.

YSEALI melakukannya dengan cara memperkenalkan pendidikan, cara berpikir kritis, dan seluk-beluk keseharian kehidupan masyarakat Amerika. Harapan YSEALI adalah mereka yang mengikuti program YSEALI terinspirasi dan tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya sepulang dari Negeri Paman Sam.

Sebagai salah satu perwakilan pelajar-pelajar yang mengikuti YSEALI hadir Ade, Via Irmar, Variz Kukuh. Bertiga, mereka memaparkan pengalaman sekaligus pelajaran yang mereka ambil dari YSEALI.

YSEALI

Sebagai pembicara pertama, Ade menceritakan kehidupannya pasca mengikuti YSEALI. Terinspirasi dari sebuah restoran yang mempekerjakan orang-orang difabel, Ade termotivasi untuk membuat satu usaha yang serupa. Dia pun mendirikan Tiara Handicraft, sebuah perusahaan dengan karyawan 100 persen diabel, yang mengajarkan masyarakat untuk membuat kerajinan tangan. Ya, kamu nggak salah baca. Karyawan Tiara Handicraft juga diminta untuk menularkan kemampuan mereka kepada orang lain. Termasuk kepada mereka yang memiliki anggota tubuh lengkap dan normal.

Ade ingin agar mereka yang difabel menjalani kehidupan sama seperti orang-orang lainnya, nggak terganggu atau terbebani dengan kekurangan mereka. Seperti kehidupan Ade, Via, dan Variz di Amerika yang dibatasi bahasa, budaya, dan diharuskan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Memang, keadaan Ade dan kawan-kawan berbeda dengan kaum difabel, tapi Ade ingin kaum difabel agar memiliki semangat hidup sama—bahkan mungkin lebih, dengan program-program yang ada di Tiara Handicraft.

Saking terkenalnya kualitas Tiara Handicraft, WTF Market menggandeng mereka untuk acara sosial perayaan ulang tahunnya yang kedua. Nggak cuman itu, hasil karya mereka yang tergabung dalam Tiara Handicraft juga digemari oleh mereka yang ada di luar Indonesia.

Jika Ade menceritakan kehidupannya dan manfaat yang diperolehnya setelah menjalani YSEALI, Via dan Variz menceritakan pengalaman mereka selama tinggal di Amerika. Terutama mengenai kedisiplinan, sikap kritis, dan literasi media.

Selama lima minggu di Amerika, tiga alumni YSEALI ini banyak menghabiskan waktu luangnya untuk menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di Amerika. Mereka nggak sekadar berwisata, tapi benar-benar menjadi salah satu mahasiswa di universitas. Via misalnya, dia mendapat jadwal yang teratur dari Senin sampai Minggu dari salah satu universitas di Massachusetts. Oleh tenaga pendidik di universitas tersebut, dia dibiasakan untuk berdiskusi dengan para pelajar lain dari negara-negara Asia Tenggara lainnya mengenai isu-isu yang sedang berkembang di setiap negara. Selain itu, Via (seperti Ade dan Variz) juga diperkenalkan dengan kehidupan di Amerika. Termasuk mengenai permasalahan ras.

Di salah satu kesempatan diskusi kampus yang diadakan setiap awal pekan itulah, Via, Ade, dan Variz diajarkan untuk bersikap kritis terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Bukan sekadar membicarakan atau saling menuding, mencari kambing hitam. Kebiasaan untuk selalu berpikir kritis di kampus mendorong Via untuk bersikap kritis pula terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Termasuk ketika muncul berita-berita yang beredar di media sosial seperti akhir-akhir ini. Di sinilah pentingnya literasi media yang menurut Via cukup krusial agar “agar masyarakat lebih tanggap dan kritis saat membaca berita-berita baik di koran, situs resmi, maupun media online.”

Di masa sekarang ini, segala hal yang berbau digital adalah sebuah hal yang lumrah. Termasuk digital literasi.

Nggak jauh berbeda dengan masa revolusi industri. Jika di masa itu semakin banyak barang yang diproduksi secara masal dan mengakibatkan meledaknya angka pengangguran, di masa kini, yang meledak adalah berita yang bisa ditulis oleh siapa pun via media sosial.

Variz, yang menjalani masa pertukaran di Hawaii, melemparkan guyonan bahwa di zaman modern sekarang ini kita nggak perlu membawa banyak bacaan. Bahkan nggak perlu membaca. Sebab berita lebih sering disajikan dengan pendapat pribadi, tanpa penyelidikan yang menyeluruh dan pemberitaan yang utuh.

Kebiasaan membaca dan berdiskusi secara kritis selama mengikuti program YSEALI membuat Ade, Via, dan Variz lebih bijak dalam membaca dan bereaksi terhadap segala berita yang ada. Sebagai salah satu produk teknologi, kehidupan di masa sekarang nggak akan bisa lepas dari media sosial.

“Semua yang berbau digital bisa membawa kita ke titik tertinggi saat mengetahui bagaimana cara memanfaatkan media online untuk mengeluarkan skill kita. Tapi juga bisa menjebak kita saat gagal menggunakan online media,” tutur Variz.

Mungkin, nggak semua orang bisa menikmati program YSEALI, tapi dengan mengetahui kebiasaan para alumni—terutama minat baca dan kebiasaan berpikir kritis; membaca DAN menanyakan setiap hal yang ditawarkan oleh kehidupan lewat kejadian di sekitar atau media sosial.

Baca juga: (Not) Alone in Another Land

 

 

Chatterbus -Ngobrol Santai di dalam Bus

Meski terdengar menarik, sayangnya, saya nggak bisa mengikuti salah satu program khas Literaturia: Chatterbus.

Chatterbus adalah semacam kegiatan talkshow santai yang dilakukan dengan asyik. Gimana nggak asyik, Artebianz, kalau kamu ngobrol dengan penulis-penulis ternama sambil keliling Surabaya. Setelah sebelumnya menghadirkan Benard Batubara, di festival keduanya ini, Literaturia menggandeng Kurniawan Gunadi dan Lalu Abdul Fatah sebagai pembicara.

Chatterbus

Berdua, secara bergantian, Gunadi dan Fatah membicarakan tentang asyik dan pentingnya menulis sampai ahirnya mereka berhasil menelurkan buku. Kedua penulis tersebut juga mendorong para muda untuk menulis dan mengeksplorasi ide mereka, termasuk menggunakan sarana digital—namely social media.

Kekurangan dari program Chatterbus, dari hasil wawancara saya dengan Galih, mahasiswi Universitas Muhammadiyah, adalah dia nggak terlalu memedulikan sekitar. Perhatian Galih benar-benar terfokus kepada dua orang pembicara.

 

 

Drop.a.line – Menikmati Musik dengan Hati, Mengulasnya dengan Pasti

Drop.a.line kali ini menghadirkan Ronascent. Sebuah majalah online yang secara khusus membahas musik Surabaya (baik indie maupun major) dan perkembangannya. Berawal dari keprihatinan terhadap perkembangan musik di Surabaya, Ronascent memfokuskan diri kepada musikalitas dan esensi setiap band lokal.

Disadari atau nggak, media online sudah menguasai nyaris setiap lini kehidupan kita. Sayangnya, hal ini belum sepenuhnya disadari oleh musisi Surabaya yang menurut kru Ronascent memiliki kans besar. Kebanyakan musisi Surabaya masih terjebak di pola pikir lama, bahwa sebagai seorang musisi mereka hanya cukup menulis lagu, merekamnya, lalu menjual album mereka. Sudah.

Rona Cendera, Ian Darmawan, dan Syamsur Rijal (mewakili staf editorial Ronascent yang berjumlah enam orang) secara nggak langsung mendorong band-band lokal Surabaya untuk mengenal media sosial. Salah satunya adalah YouTube. Melalui salah satu program mereka, kru Ronascent meminta setiap band yang mereka wawancarai untuk bermain secara live, sebelum kemudian menjawab beberapa pertanyaan.

Ronascent

“Semua anggota band awalnya bermain dengan lepas, tapi begitu diwawancarai, kalian bisa lihat gestur tubuh mereka—kelihatan kaku,” terang Rona, salah satu kru Ronascent, sambil memperlihatkan video wawancara Ronascent dengan salah satu band beraliran rock.

Rona kemudian membandingkan band tersebut dengan Raisa yang bisa menanggapi dan menghadapi media dengan baik.

Selain memperkenalkan Ronascent dan misi majalah online tersebut, ketiga kru Ronascent juga berbagi ilmu mengenai jurnalisme musik. Mulai dari bagaimana mengulas sebuah lagu, album, pengambilan angle foto, cara menulis berita, sampai meliput acara musik live.

Mengenai topik terakhir, Ian membagikan pengalamannya mewawancarai sebuah band besar yang mengadakan pertunjukan di Surabaya. “Demi mendapatkan berita, kami harus bisa mencuri waktu [setiap personel band]. Pernah kami nongkrong, nungguin, salah satu anggota band di depan toilet. Begitu [si musisi] keluar, [aku] langsung melempar pertanyaan dan berusaha bertanya sebanyak mungkin.”

Sebagai salah satu ciri khas Drop.a.line yang melibatkan peserta acara, Ronascent mengajak peserta untuk menulis ulasan musik dengan topik “perkembangan musik Indonesia”.

Baca juga: Kulik-Kulik Musik Asyik

 

 

 

Bersambung ke Literasi Desember: Literaturia, Budaya Berpikir Kritis, dan Literasi Media (Bag. 1)


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Liputan Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Laki-laki, Perempuan... Mana yang Lebih Baik?


Dimas-Lissa: Pudarkan Kapitalisasi Pendidikan Lewat Sekolah Gratis Ngelmu Pring


Aku Ingin Tahu #1: Jawaban dari Ratusan Pertanyaan


Orange Marmalade: Saat Cinta Tidak Memandang Dunia (2015)


Danilla dan Kalapuna


Bubur Turki Kayseri: Bubur Ayam Versi Spicey


Taman Patung Kuda Gunung Sari - Taman Segala Usia


Goa Lawah Nan Berselimut Sejarah


Deja Vu: Pesta Ketiga WTF Market di Surabaya (Bagian 1)


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Enam)


Cita-Cita Dirgantara


MENGAPA?