Oma Lena - Part 3

20 Feb 2015    View : 2500    By : Nadia Sabila


Sebelumnya:
Oma Lena Part 1
Oma Lena Part 2

 

Aku langsung berlari menghampiri wanita malang itu. Kutepuk-tepuk pipinya; kuraba denyut nadi di pergelangan tangannya. Aku menangis dan berteriak minta tolong. Oma Lena begitu pucat dan oh! Segaris darah segar mengalir dari mulut ke pipinya.

Aku tak merasakan denyut nadi di tangan Oma, akhirnya aku membungkuk dan kudengarkan degup jantung di dada gemuk Oma. Tubuh tua itu masih hangat, tandanya ia belum lama tak sadarkan diri. Aku benar-benar panik, sementara langit senja sudah mengguratkan kegelapan.

Tapi untunglah, tak lama kemudian Mama datang bersama Satpam Kompleks. Mereka terkejut melihat pemandangan di depan mata mereka. Pak Satpam segera menelepon ambulans dan polisi dari telepon rumah Oma. Aku berlari ke pelukan mamaku. Aku benar-benar shock. Hanya dalam hitungan menit, ambulans datang dan membawa Oma. Beberapa menit kemudian polisi juga datang dan segera memasang police line di sekitar rumah Oma. Orang-orang pun ramai berkerumun. Seorang polisi menghampiriku.

“Adik Viva tidak perlu takut. Kami sudah memeriksa rumah ini dan kami mengambil kesimpulan bahwa kasus Ibu Magdalena ini bukan dikarenakan perampokan melainkan karena beliau memang terserang penyakit,” jelas polisi itu. “Tapi kami tetap harus membuat laporan atas kasus ini dan keterangan Adik sebagai saksi, sangat kami butuhkan. Adik bersedia ke kantor?”

Setelah bersaksi di kantor polisi, malam itu bersama mama aku ke rumah sakit tempat Oma dirawat. Oma Lena masih di ruang ICU. Malang sekali, tidak ada satu pun anggota keluarganya yang bisa ditelepon. Anak Oma diketahui sedang dinas di Madrid, Spanyol.

Oma menderita malaria. Dan yang dibutuhkan Oma saat ini adalah darah. Tapi persediaan darah yang sama dengan darah Oma, kosong. Aku dan mama pun bersedia tes darah. Akhirnya didapat hasil bahwa darahkulah yang dibutuhkan Oma. Golongan darah dan rhesusku sama dengan Oma. Tanpa pikir panjang lagi aku bersedia diambil darah, lupa sama sekali akan semua sikap buruk Oma padaku. Aku juga lupa akan ketakutanku dengan jarum suntik, yang kuingat hanyalah tubuh tua Oma yang tergeletak tak berdaya dengan nyawa yang terancam.

mawar_darah
Sudah tiga hari Oma di rumah sakit. Hari ini, aku dan Rania menjenguk Oma. Oma sudah pindah ke kamar perawatan, dan yang menyedihkan, belum pernah ada satu anggota keluarganya pun yang menengoknya.

Oma masih tidur. Selang-selang infus dan darah masih berseliweran di tubuhnya. Aku dan Rania mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama bukan pendendam. Rania menaruh buket bunga untuk Oma di samping tempat tidur. Aku menggenggam tangan lemah Oma. Tangan tua itu ditancapi selang yang dialiri darah. Itu darahku. Ya, darahku sekarang mengalir dalam tubuh Oma Lena. Tiba-tiba Oma membuka matanya dengan lemah dan dia tersenyum padaku dan Rania.

“Viv..va, Ran..Rania.. ngap..pain kalian kemari?” tanya Oma dengan payah.

“Kami kemari ingin lihat Oma, Oma sudah sehat ya?” kata Rania lembut.

Oma tersenyum lemah. Jelas sekali gurat bahagia di wajah tua Oma.

“Viva, terima kasih banyak ya, selain itu Oma juga minta maaf atas sikap Oma sama kamu tempo hari. Oma sadar, Oma keterlaluan sama kamu, maafkan Oma ya?”

“Viva udah maafin Oma dari dulu kok, begitu juga dengan temen-temen,” jawabku tulus.

Tiba-tiba ponsel Rania berbunyi. Rania permisi keluar kamar untuk menjawab telponnya. Sembari, Rania keluar, setengah berbisik Oma Lena mengatakan sesuatu padaku.

"Cucuku Viva, sekali lagi maafkan Oma. Oma sadar bahwa kalian para remaja putri, benci sekali dengan Oma. Oma bersikap begitu karena suatu alasan, yang suatu saat kamu pasti akan tahu. Dan Oma janji, Oma pasti akan mengubah sikap Oma," ujar Oma, lirih tapi penuh ketulusan.

"Satu lagi, Oma minta tolong sesuatu yang hanya kita berdua yang tahu. Tolong selama Oma di rumah sakit, kamu rawat dua kelinci kesayangan Oma; satu kelinci putih dan yang satu lagi hitam. Terima kasih banyak."

"Oke, Viva bisa merawat kelinci-kelinci itu, tapi kenapa harus dirahasiakan, Oma?"

Belum lagi tanyaku terjawab, Rania sudah kembali masuk kamar. Oma hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya padaku.

kelinci_hitam_dan_putih

Meski masih sedikit bingung, mengapa merawat kelinci saja harus dirahasiakan, aku tetap melaksanakan permintaan Oma. Sore ini aku berada di halaman rumah Oma yang asri. Aku tak pernah tahu Oma punya kelinci. Ternyata kelinci itu ada di dalam sebuah kandang. Cukup lama aku menyadarinya karena kandang hampir tertutup semak.

Tapi aneh! Oma bilang kelincinya ada dua tapi di kandang ini cuma ada satu, hanya yang putih. Apa kelincinya kabur, ya? Aku mencari-cari di sekeliling halaman dengan panik sampai-sampai aku jatuh tersandung selang air. Aku terjatuh pas di depan jendela.

Tiba-tiba ketika aku sedang berusaha bangkit aku melihat tirai jendela mengibas tertutup, seperti ada seseorang yang barusan mengintip. Aku mengucek-ngucek mata memastikan. Dan tirai pink itu tetap tertutup. Oh, pasti angin, pikirku.

Tiap pulang sekolah aku selalu memberi makan kelinci itu. Dan yang hitam tetap saja tidak ditemukan. Mungkin Oma lupa kalau kelinci hitamnya sudah mati atau apa, yang jelas aku belum berani menanyakannya pada Oma yang masih di rumah sakit, aku takut Oma jantungan begitu tahu kelincinya hilang satu.

***

Suatu hari, aku pulang terlalu lelah karena menghadiri kontes pemilihan putri daerah. Bukan, aku bukan pesertanya! Aku hanya memberi support untuk Rania. Rania mengancam akan mundur jika aku dan Raven tidak datang mendukungnya. Jadi sehari itu aku tidak menjenguk kelinci Oma. Aku benar-benar kelelahan. Aku tak sanggup bangkit dari tempat tidurku. Aku hanya bisa memandangi rumah Oma dari jendela kamarku. Rumah itu begitu gelap dan sepi.

Tapi loh, pintu pagarnya setengah terbuka? Dan dari dalam rumah tampak cahaya samar-samar, tapi begitu aku mengedipkan mata, cahaya itu hilang! Rumah itu kembali gelap gulita. Aku langsung gemetar. Oma tak punya sanak saudara, rumah itu seharusnya kosong. Kulihat jam dinding di kamar menunjukkan angka sepuluh lebih tiga puluh menit. Ya Tuhan, apakah aku berhalusinasi? Aku segera melesak ke dalam selimutku dan memaksakan diri untuk tidur.

omalena_3_3

Gara-gara itu, aku bermimpi buruk semalam. Aku terjaga pukul lima pagi. Aku tak tahan lagi untuk tak melihat rumah Oma. Dan pagi ini, pintu pagar Oma sudah tertutup! Aku juga melihat tirai kamar depan terkibas seperti sore itu! Seseorang atau lebih tepatnya, sesuatu dalam rumah itu selalu mengawasiku! Ada yang aneh di rumah itu. Aku membulatkan tekad untuk memeriksa rumah itu sekarang juga.

Hanya dengan berbalut baby doll dan beralas sandal jepit aku mendatangi rumah seberang. Dinginnya pagi tak menyurutkan niatku. Pintu pagar hanya diselot dari dalam, entah oleh siapa. Sejak ditinggal Oma, rumah ini jadi terasa angker. Aku melintasi halaman depan, halaman samping, kandang kelinci dan akhirnya sampai di pintu teras samping tempat kaca yang pecah karena bola voli. Kaca yang pecah sudah diperbaiki oleh Azzur.

Matahari belum terbit sempurna, suasana masih remang-remang. Aku mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Aku kembali ke teras depan dan mengetuk pintu ruang tamu. Tetap senyap sehingga aku nekat melongok ke dalam melalui jendela. Tidak! Sepasang mata merah di dalam ruang tamu membalas tatapanku! Aku tercekat! Ketika aku hendak berbalik untuk kabur, sesosok makhluk serba putih menerjangku! Tak pelak lagi, aku pingsan seketika....

omalena_3_3
Bersambung



Cerpen keren Artebia lainnya:




Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Cerpen Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Filosofi Pohon Pisang Pada Hubungan Ayah Dan Anak


Indah Kurnia, Memimpin Tanpa Kehilangan Identitas Sebagai Wanita


Ikan-Ikan dari Laut Merah - Ekspresi Tasawuf dalam Sastra Sufistik


The Fault in Our Stars - Secercah Kebahagiaan dalam Duka


Menuju Senja - Payung Teduh


Icip-Icip Seblak Zoss, Lebih Dari Sekadar Joss


Marathon Kafe Recommended Di Malang


Misteri serta Sejarah Jatimulyo dan Mojolangu, Malang (Bag. 1)


Nasib Literasi di Era Digitalisasi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Kedua)


Kisah Tentang Himawari


Menguak Luruh