Dieng: Sebentuk Nirwana di Indonesia - Edisi Kompleks Candi Arjuna

26 Jan 2015    View : 6890    By : Niratisaya


Dieng. Siapa yang tak kenal daerah wisata yang menjadi primadona di Banjarnegara, Wonosobo, Jawa Tengah, ini?

Artebianz tentu pernah melihat dari televisi atau malah menyaksikan sendiri pesona alam Dieng. Saya sendiri mengetahui keindahan Dieng dari sebuah berita tentang daerah yang menjadi penghasil beberapa tanaman yang tak bisa ditemui di daerah lain di Indonesia ini. Namun, semua itu tidak lantas membuat saya ngebet pengin mengunjungi Dieng. Sampai akhirnya, lebih dari setahun yang lalu saya bermimpi mengunjungi Dieng dan bertemu dengan salah satu penjaganya. Seperti kata Paulo Coelho, ini adalah satu pertanda yang tidak boleh saya lepas dan anggap sebagai angan atau imajinasi belaka.

Semenjak itu, saya mulai berencana pergi ke Dieng. Tapi saya tidak bisa asal mengepak baju dan kamera kemudian berangkat begitu saja. Saya harus menunggu waktu yang pas. Sebab bagi saya, Dieng bukan sekadar daerah wisata. Dataran tinggi yang namanya berasal dari bahasa Kawi “di” (tempat atau gunung) dan “Hyang” (Dewa) ini memiliki arti dan tempat tersendiri di mata saya.

Dataran Tinggi Dieng

Setelah mendirikan artebia.com bersama dua orang teman saya, akhirnya kesempatan saya mengunjungi Dieng akhirnya datang juga.

Bersama Tim Artebia, saya berangkat menuju Dieng pada tanggal 12 Desember 2014. Yes, Artebianz, keberangkatan kami bersamaan dengan peristiwa longsor yang terjadi di Banjarnegara. Tapi untunglah, kami tidak mengalami banyak kendala saat berangkat menuju Dieng. Kecuali masalah arah—karena Artebianz, ini adalah pertama kalinya Tim Artebia berangkat ke daerah Wonosobo! Walhasil, kami beberapa kali tersesat dan salah arah. Namun kami tidak pernah berhenti. Sebab, semangat kami lebih tinggi ketimbang rasa takut, sehingga kami pun nekat berkendara menuju Dieng.

Kami berangkat kurang lebih pukul 22.30 dari Surabaya dan sampai di Dieng sekitar pukul 10 pagi, setelah beberapa kali tersasar dan bertanya pada penduduk setempat. Saat itu kami masuk ke Dieng dari Wonosobo dan melewati loket tiket Dieng yang ada di bawah.

Saya baru tahu kalau Dieng memiliki dua jalan masuk, lewat atas (yang terhubung dengan Museum Kailasa dan Candi Gatotkaca) dan lewat bawah (terhubung langsung dengan Kompleks Candi Arjuna).

Sesampainya di Dieng, begitu keluar dari mobil, Tim Artebia segera disambut udara dingin semriwing seperti permen mint. Padahal sudah jam 10 pagi, lho. Tapi dingin udara Dieng masih kalah dengan dinginnya air di tempat persewaan kamar mandi umum, yang sukses membuat  Tim Artebia mengurungkan niat mandi.

Dharmasala(Dharmasala, cagar budaya pertama yang Artebianz temui di Dieng)

Jangan pasang muka kaget atau berpikir kalau kami jorok. Daripada nanti berkeliling sambil menahan ngilu tulang, rasanya lebih baik kalau kami berkeliling dengan ceria dan semringah, kan Smile

Maka dari itu, kami memutuskan bahwa cukup wajah dan tangan kami saja yg kedinginan.

Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, saya dan Tim Artebia segera menjelajahi Dieng. Dimulai dari Kompleks Candi Arjuna.

Baca juga: Dieng: Sebentuk Nirwana di Indonesia - Edisi Setyaki dan Pesona Alam Dieng


Kompleks Candi Arjuna Dan Makna Di Baliknya

Menjejakkan langkah di Kompleks Candi Arjuna saya segera tertawan dengan keindahannya. Selain jalan masuk yang bersih juga alam yang hijau terawat, yang membuat saya takjub adalah bagaimana nuansa kesakralan kompleks candi ini masih terasa, meski ada begitu banyak pengunjung yang datang. Meski ada dua makhluk Disney yang tersasar di Dieng.

 Disney di Dieng(Woups, ketahuan! Mickey dan Minnie lagi kencan di Dieng)

Konon, seni arsitektur candi-candi di Dieng mengadopsi gaya bangunan candi di India. Hal ini bisa dilihat dari beberapa arca yang menghiasi tiap sisi candi-candi di Dieng.

Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah pertanyaan yang dilempar seorang pengunjung lainnya; “Kenapa kompleks ini dinamakan Kompleks Candi Arjuna?”.

Informasi umum yang beredar di masyarakat adalah semua candi di Dieng tidak memiliki informasi yang jelas, tidak seperti candi-candi lainnya yang pernah saya kunjungi. Bisa jadi ini karena usia candi-candi tersebut yang amat tua, sehingga tidak ada bahan acuan yang bisa dijadikan informasi.

Pertanyaan yang dilontarkan oleh pengunjung Kompleks Candi Arjuna tersebut memang sederhana, bahkan mungkin sudah sering kali dilemparkan pengunjung-pengunjung Dataran Tinggi Dieng lainnya. Sebab ada banyak nama di cerita Mahabarata, termasuk Puntadewa yang jelas-jelas ada di sana dan adalah anak tertua dari pandawa bersaudara—atau Bima yang terkuat di antara kelimanya, tapi kenapa Arjuna yang terpilih. Jangan bilang karena dia tampan ya, Artebianz. Hanya karena terbayang-bayang wajah Shaheer Sheikh.

Ketika membicarakan makna di balik penamaan kompleks candi utama di Dieng ini, mau tak mau saya teringat pada Sunan Kalijaga dan kebiasaannya yang menyesuaikan beberapa produk kebudayaan masyarakat Jawa yang ketika itu memeluk Hindu dan mengaitkannya dengan hal-hal islami. Termasuk salah satu di antaranya adalah kisah para pandawa.

Bukankah, jumlah anak Raja Pandu ini sama dengan jumlah rukun yang ada di Islam? Dan di antara kesemua rukun itu yang menjadi salah satu ciri orang Jawa adalah kegemarannya untuk bertirakat (puasa) dan selalu dana weh-weh atau bermurah hati (zakat) pada sesama. Kadang orang meyakini rukun Islam yang ketiga adalah “berpuasa”, terkadang juga mereka percaya bahwa itu adalah “berzakat”. Yang mana pun itu, pesan yang saya tangkap dari keberadaan Kompleks Candi Arjuna adalah pengingat masyarakat bahwa mereka perlu mengingatkan kembali akar mereka sebagai orang Jawa, sebagai manusia yang harus berpuasa dan berzakat.

Candi Arjuna

Arti kata “jowo” sendiri tidak hanya menerangkan sebuah suku, tetapi juga sikap dan sifat hidup sekelompok orang yang berkarakter murah hati, toleran, memiliki tepa selira. Oleh karena itu, Artebianz, dalam masyarakat Jawa beredar ujaran “nek ora jowo dudhu wong Jowo”. Yang kurang lebih artinya “kalau tidak bermurah hati, toleran, dan tepa selira—bersifat seperti layaknya orang Jawa—bukanlah orang Jawa tulen”.

Alasan lain mengapa kompleks candi ini dinamakan Kompleks Candi Arjuna karena karakter Arjuna yang dikenal doyan tirakat dan bersemedi, sehingga di antara para saudaranya ia menjadi sosok yang bukannya tampan secara fisik, tetapi juga tampan secara batin dan spiritual.

Saking terkenalnya Arjuna sebagai sosok ksatria ideal, ia menjadi prototipe tokoh ksatria yang muncul dalam cerita maupun dunia nyata. Misalnya saja sosok Raja Erlangga, Wijaya, Damarwulan, dan beberapa tokoh yang lain. Mereka digambarkan sebagai sosok yang menyerupai, bila tidak mendekati, sosok Arjuna yang berwibawa dan memiliki kesaktian tinggi.

Sebagai daya tarik utama dari Kompleks Candi Arjuna, banyak wisatawan yang mengambil foto di depan candi ini. Seandainya Artebianz ingin berkunjung dan merasakan berfoto dengan beberapa sosok pewayangan, di dalam kompleks ini ada beberapa orang yang mengenakan kostum (Anoman, Buto, dan beberapa lainnya) yang siap melayani sesi foto bersama. Tentu saja, dengan biaya tertentu, Artebianz Wink

Baca juga: Gapura Wringin Lawang, Mojokerto: Gerbang dari Masa Kini ke Masa Lalu 


Candi Semar

Candi Semar terletak persis di depan Candi Arjuna. Namun pada ekspedisi saat itu (13/12/’14) saya tidak sempat menilik candi ini. Namun yang pasti, letak Candi Semar di depan Candi Arjuna layaknya posisinya sebagai punakawan (hamba sahaya) para pandawa. Keberadaannya yang seakan-akan mendampingi Candi Arjuna membuatnya disebut candi perwara.
Sama seperti Candi Arjuna, Candi Semar sering digunakan sebagai latar foto para wisatawan.

Sekilas cerita mengenai sosok Semar
Semar yang juga disebut dengan Ki Lurah Semar adalah punakawan utama dalam cerita dunia pewayangan Jawa. Ia diceritakan memiliki wujud pendek, gemuk, berperut buncit, dan berpantat besar. Semar dipercaya sebagai sosok dewa yang mengubah wujud dirinya sebagai manusia di alam dunia. Konon, wujud asli Semar adalah Batara Ismaya. Sementara itu, sebagian dalang memercayai bahwa Semar hanya identik dengan Batara Ismaya, bukan jelmaannya.

Dalam keadaan biasa, Semar hanyalah hamba sahaya yang melayani dan menghibur para pandawa, tetapi ada kalanya dalam situasi tertentu ia disusupi oleh Sang Hyang Ismaya. Pada saat-saat seperti itu, Semar tidak akan peduli ia sedang berhadapan dengan siapa. Jangankan dengan manusia, berhadapan dengan dewa pun ia berani.

Candi Semar

Menurut mitologi Jawa, Semar (Sang Hyang Ismaya) diperintahkan oleh Sang Hyang Tunggal untuk menjadi pamong (penjaga dan penasehat) bagi manusia yang berbudi baik. Dalam pengembaraannya sebagai punakawan, Semar merasa kesepian dan meminta teman seperjalanan pada Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal pun berkata, “Temanmu yang paling setia adalah bayanganmu.” Seketika itu, bayangan Semar beruba menjadi sesosok makhluk yang menyerupai Semar, tetapi lebih kecil. Ia adalah Bagong.

Dalam berbagai lakon wayang, Semar muncul sebagai pemeran utama yang berfungsi adalah sebagai pengarah utama nilai filsafat kehidupan bagi para tokoh-tokoh yang lain.

Menurut saya pribadi, Semar adalah representasi dari nihilisme (nol atau infinity) yang merupakan nilai tertinggi. Sebab ia dikatakan bukan lelaki, bukan pula perempuan, tapi juga bukan banci. Dalam buku Rupa dan Karakter Wayang Purwa, Semar disebutkan sebagai perlambang “… kebenaran yang hakiki. Suara Semar dianggap sebagai suara rakyat kecil, suara hati nurani manusia yang asasi.” (Sudjarwo dkk, 2010:944).

Baca juga: Candi Minak Jinggo - Candi Kecil nan Istimewa di Trowulan

 

Candi Puntadewa

Pada saat saya berkunjung ke Dieng, Candi Puntadewa kala itu tengah dipagari dengan kayu. Bisa jadi candi yang namanya diambil dari putra pertama Prabu Pandudewanata ini sedang direnovasi karena beberapa kerusakan di candi ini. Mungkin karena ulah wisatawan yang berpose berlebihan saat mengambil foto. Atau juga keusilan mereka.

Artebianz, tempat bersejarah mana pun yang Anda kunjungi, selalu ingat bahwa kita harus melestarikannya. Sebab tulisan-tulisan dalam buku sejarah bisa diubah, tapi tidak dengan cagar alam yang merepresentasikan kehidupan nenek moyang kita. Yang sudah selayaknya kita hormati.

Candi Puntadewa


Sekilas cerita mengenai sosok Puntadewa
Artebianz mungkin lebih mengenal sosok sulung pandawa ini sebagai Yudhistira. Ia dikatakan sebagai titisan Batara Darma dan mempunyai sifat penuh belas kasih, sabar ikhlas, tekun dalam beragama, selalu bertindak adil, dan jujur. Puntadewa selalu menghindari konflik, sehingga nyaris sepanjang hidupnya ia tak memiliki banyak musuh.

Sosok Puntadewa yang demikian, membuatnya menjadi prototipe insan kamil (manusia sempurna)—yang secara umum mampu membawa peradaban manusia pada puncaknya, dan secara khusus membuat seseorang mampu memenuhi kodratnya sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebab ia mampu mengelola dunia lewat pengelolaan diri dan nafsu-nafsunya.
Tidak seperti Arjuna atau saudara-saudaranya yang lain, Puntadewa lebih tertarik pada dunia sastra dan ilmu tata negara.

Akan tetapi, sosok Puntadewa yang sedemikian penyabar dan penuh belas asih rupanya bagai pedang bermata dua. Banyak orang yang berpendapat Puntadewa tak memiliki pendirian dan terkesan lemah. Meski tahu dicurangi oleh Sengkuni pada permainan dadu, Puntadewa tetap diam dan merelakan harta, benda, negara, bahkan istrinya untuk menjadi milik Kurawa.

Pemikiran dan prinsip Puntadewa ini hanya bisa dipahami oleh seseorang jika ia menggunakan sudut pandang sufisme. Demi menghindari konflik dan mencapai ketentraman dunia, Puntadewa yang merupakan perwakilan sosok insan kamil, rela memberikan semuanya tanpa terpengaruhi oleh emosi atau nafsunya (terutama amarah).

Baca juga: Patirthan Candi Kidal Yang Tersembunyi


Candi-Candi Istri Arjuna

Masih berada di kompleks yang sama, terdapat dua candi lainnya yang rupanya adalah dua candi dengan nama yang diambil dari dua istri Arjuna dalam pewayangan Jawa:

1. Candi Srikandi
Bersebelahan dengan Candi Arjuna adalah candi Srikandi. Namun tidak seperti tak banyak wisatawan yang mengambil foto di candi yang berada di antara Candi Arjuna dan Candi Puntadewa ini.

Candi Srikandi

Sekilas cerita mengenai sosok Srikandi
Dari beberapa cerita mengenai Mahabaratha yang sempat saya baca, diceritakan bahwa Srikandi adalah reinkarnasi sosok Dewi Amba yang ingin menuntut balas pada sosok Bisma. Ia merasa kehidupannya telah dihancurkan oleh ksatria paling sakti di dalam cerita Mahabaratha tersebut. Sayang, tak seorang pun ksatria atau pun dewa mau melawan Bisma. Dewi Amba pun akhirnya meninggal dunia dan lahir kembali sebagai Srikandi.

Srikandi, anak Raja Drupada dan adik Drupadi (kalau menurut Kitab Mahabaratha, Srikandi adalah kakak Drupadi), diceritakan lahir lengkap dengan baju zirah (baju perang yang terbuat dari besi). Ketika ia beranjak dewasa, Srikandi dipinang oleh Prabu Jungkungmardeya. Namun Srikandi menolak sebab ia telah jatuh hati pada sosok Arjuna. Tak mau dijodohkan dengan Jungkungmardeya, Srikandi melarikan diri dan memilih Madukara—Kesatrian tempat tinggal Arjuna sebagai tujuan. Di sana Srikandi belajar memanah dari Arjuna.

Singkat cerita, Srikandi akhirnya menikah dengan Arjuna setelah lelaki itu memenuhi dua persyaratannya dan setelah Srikandi menghabisi nyawa Jungkungmardeya dengan keahlian memanahnya.

Memenuhi sumpahnya dari kehidupan lampaunya sebagai Dewi Amba, Srikandi akhirnya berhasil membunuh Bisma yang konon hidup kekal. Hal ini terjadi setelah Bisma dengan sengaja mengembalikan ingatan Srikandi sewaktu hidup sebagai Dewi Amba.

Meski memiliki perbedaan, tetapi dalam cerita pewayangan Jawa dan Kitab Mahabaratha sama menceritakan Srikandi sebagai satu-satunya tokoh wanita yang memiliki kemampuan untuk beralih jenis kelamin—ia bahkan diceritakan memiliki seorang anak sewaktu berubah wujud menjadi lelaki dengan meminjam alat kelamin seorang begawan.

Di sisi lain, Artebianz, Srikandi menjadi sosok berpengaruh dalam cerita pewayangan Jawa (selain Kunti dan Drupadi) dan cukup berperan aktif dalam cerita.

2. Candi Sembadra
Candi Sembadra terletak di paling ujung jajaran Kompleks Candi Arjuna. Sama seperti Candi Srikandi dan Candi Puntadewa, tidak terlalu banyak wisatawan yang berfoto menggunakan latar candi ini.

Candi Sembrada

Sekilas cerita mengenai sosok Sembadra
Dewi Subadra atau Dewi Sumbadra, atau yang dikenal dengan Dewi Sembadra dalam pewayangan Jawa, adalah istri pertama Arjuna.

Mungkin berbeda dengan kisah Mahabaratha menurut kitab aslinya, atau menurut sinetron yang pasti sempat Artebianz tonton, karena paham Islam tak mengenal istilah poliandri, sosok Drupadi yang diceritakan menikah kelima Pandawa diubah. Drupadi dikisahkan menikah hanya dengan Yudhistira (Puntadewa) Sehingga yang menjadi permaisuri Arjuna bukanlah Drupadi, melainkan Sembadra.

Dalam pewayangan Jawa, Sembadra diceritakan sebagai sosok istri yang cukup kontroversial. Ia menanggalkan sifat umum wanita yang cemburu bila dimadu. Sebaliknya, Sembadra justru menjadi sosok yang menjodohkan suaminya dengan wanita-wanita lain. Termasuk Srikandi. Hal ini dikarenakan walau bersuamikan Arjuna, Sembadra merasa ia tak memiliki ksatria tersebut.

Meski diceritakan sebagai pribadi yang setia, murah hati, dan jatmika (sopan serta santun) Sembadra juga dikenal sebagai sosok yang tak pernah memberikan penghormatan berlebihan pada orang lain. Ia tak pernah berbicara dengan bahasa krama (halus) pada lawan bicaranya, tak peduli apakah sosok itu adalah raja atau dewa. Watak Sembadra ini mirip dengan karakter Bima. Bedanya, Bima hanya mau berbicara dalam krama inggil (bahasa halus tingkat tinggi) dengan gurunya: Dewa Ruci.

Sembadra diceritakan sebagai sosok dengan fitrah seperti bayi yang suci, alami, dan murni. Hal ini sesuai dengan sosoknya yang murah hati, setia, tak mampu berbicara menggunakan bahasa yang halus dengan lawan bicaranya. Apa Artebianz pernah melihat seorang bayi yang mampu berbicara halus pada orang yang diajaknya bicara? Seorang bayi selalu menampakkan apa yang dirasakan, dipikirkan, serta diinginkannya secara gamblang—tanpa pretensi maupun kata atau sikap manis yang lebih sering menipu.

Baca juga: Leiden, Kota Sarat Sejarah Dalam Balutan Puisi Indah


Memaknai Ekspedisi Kompleks Candi Arjuna dan Kaitannya dengan Mimpi Saya

Terkait dengan isyarat dalam mimpi dan ekspedisi saya di Kompleks Candi Arjuna, saya menyadari bahwa  secara pribadi saya diminta untuk bertirakat dan ingat selalu ingat akar saya. Agar seperti Puntadewa, saya mampu mengendalikan nafsu serta menjaga keseimbangan kehidupan modern dan karakter saya sebagai orang Jawa. 

Meski kita hidup di dunia dan mampu bergerak karena nafsu yang kita miliki, tetapi penting untuk kita ingat Artebianz, bahwa dunia hanyalah sekotak cokelat yang kalau terlalu banyak dan sering kita nikmati akan membawa keburukan bagi diri kita. Ekspedisi saya di Kompleks Candi Arjuna mengingatkan saya supaya tidak terjerumus dalam putaran kehidupan yang terkadang membuat kita tersesat terlalu dalam di lingkaran permainan kendali nafsu.

Selain itu, dua candi dengan nama dua istri Arjuna (Sembadra dan Srikandi) mengingatkan bahwa meski terlahir sebagai perempuan, seorang wanita tak perlu menanggalkan fitrahnya atau takut tak mampu mencapai keinginan atau cita-citanya. Senyampang ia menjaga kemurnian dirinya sebagai sosok manusia (layaknya bayi) secara umum (tidak hidup dalam kepura-puraan dan kebohongan) dan sebagai sosok perempuan (menjaga sikap dan harkat kehormatannya) secara khusus.

Meski ini berdasarkan pengalaman pribadi, saya percaya siapa pun dapat menerapkannya dalam kehidupan. Tidak peduli apakah Artebianz seorang lelaki atau perempuan.


 

Bibliografi:

Sudjarwo, Heru S., Sumari, Undung Wiyono. 2010. Rupa dan Karakter Wayang Purwa: Dewa, Ramayana, Mahabarata. Jakarta: Kakilangit Kencana.

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Wisata Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Generasi Global dalam Industri Pertelevisian: Menelisik Makna di Balik


Lucio - Menemukan Rahasia Gelap Baja Alatas dan Dewi Swis


Coban Jahe: Wisata Alam Untuk Mengisi Liburan Singkat


Present Perfect: Seandainya Waktu Dapat Diputar Kembali


Widyoseno Estitoyo: Pebisnis Muda, Aktivis Sosial, Dan Pekerja Seni


Warung Wulan - Resto All You Can Eat Murah Meriah


Kedai Tua Baru Surabaya: Sajian Ala Malaysia-Jawa


Twist and Shout (Part 1)




Adiwarna 2016: Refraksi - Changing Your Perspective


Dia Ramai Berhening


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Empat)