Jazz Gunung 2015 - Indahnya Jazz Merdunya Gunung
17 Jun 2015 View : 3751 By : Nadia Sabila
Jazz Gunung! Akhirnya pada Juni tahun 2015 ini saya bisa hadir dan melihat langsung salah satu event konser jazz yang paling saya dambakan sejak saya duduk di bangku kuliah. Jazz Gunung juga ditunggu-tunggu oleh pecinta musik Indonesia umumnya dan pecinta musik jazz khususnya. Mengapa? Karena konser yang satu ini sangat istimewa.
Sekilas Tentang Jazz Gunung
Keunikannya sesuai dengan namanya, Jazz Gunung adalah pertunjukan musik jazz bertaraf internasional yang untuk pertama kalinya di Indonesia, diperdengarkan di ketinggian lebih dari 2.300 mdpl, tepatnya di lereng Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur.
jazz gunung 2015 di lereng Bromo photo by: artebia
Digelar pertama kali pada tahun 2009 (di tempat yang sama), Jazz Gunung mengusung tagline "Indahnya Jazz Merdunya Gunung", tiga orang yang sangat peduli terhadap dunia seni, yaitu Sigit Pramono, seorang bankir dan fotografer yang mencintai Bromo dan musik jazz; Butet Kartaredjasa, seorang seniman yang serbabisa; dan Djaduk Ferianto, seniman musik dengan ciri Indonesia yang kental. Penampil dalam pertunjukan ini adalah musisi-musisi jazz berbakat, bergengsi, dan belum mainstream.
Jazz Gunung 2015
photo by: artebia
Nah, Jazz Gunung 2015 yang saya hadiri ini menjadi event Jazz Gunung yang ke-7 atau Jazz Gunung Kaping Pitu sesuai dengan temanya. Jazz Gunung 2015 digelar dua hari, mulai Jumat-Sabtu tanggal 12-13 Juni, masing-masing pukul 16.00 WIB - 23.00 WIB di arena panggung terbuka hotel Java Banana, Sukapura, Probolinggo.
Harga tiket Jazz Gunung 2015 kelas festival untuk 1 orang adalah Rp500.000,00 (dua hari) dan Rp300.000,00 satu hari, (yakni hari pertama saja atau hari kedua saja); Sedangkan harga tiket Jazz Gunung untuk kelas VIP adalah Rp700.000,00 (dua hari) dan Rp450.000,00 (satu hari).
Oke, satu catatan tentang liputan Jazz Gunung 2015 untuk Artebia ini, saya hanya membeli tiket satu hari di hari kedua (Sabtu, 13 Juni). Tetapi, meskipun hanya bisa menghadiri Jazz Gunung hari kedua, saya sama sekali tidak kecewa, Artebianz!
Perjuangan saya membayar tiket (dipesan sejak H-30), mendaki gunung tinggi—walaupun dengan naik mobil jenis colt—menyewa vila penginapan, hingga menggigil kedinginan karena suhu Bromo saat itu mencapai 13 derajat celcius, semuanya terbayar lunas dengan penampilan para musisi yang luar biasa di Jazz Gunung ini.
Fasilitas colt free shuttle jazz gunung , photo by: artebia
Musisi-Musisi Di Jazz Gunung 2015 (Day 2)
Di hari kedua (Day 2) pagelaran Jazz Gunung 2015 ini, penonton disuguhi penampilan gemilang dari Beben Jazz and Friends, Malacca Ensemble, Ring of Fire Project feat Tohpati and Endah Laras, Nita Aartsen Quatro feat Ernesto Castillo, dan Andien. Nama terakhir adalah nama penyanyi jazz yang sudah familier di telinga kita, tetapi, nama-nama sebelumnya tak bisa dipandang sebelah mata!
Favorit Saya: Malacca Ensemble
Malacca Ensemble menjadi penampil pertama yang membuka Jazz Gunung 2015 Day 2. Pemain perkusi yang menjadi juru bicara grup musik Melayu ini membuka penampilan mereka dengan kata pengantar berlogat Melayu yang sangat kental. Tak heran, karena nama Malacca saja sudah menunjukkan bahwa mereka berasal dari Indonesia di wilayah Selat Malaka.
photo by: Artebia
Malacca Ensemble memainkan komposisi jazz dengan sentuhan musik Melayu dengan alat-alat musik yang terdiri dari perkusi jimbe, akordeon, biola, gitar, bass, dan drum. Komposisi pembuka yang dibawakan oleh Malacca Ensemble adalah instrumen Melayu tradisional yang digunakan untuk mengawali pencak silat. Dilanjutkan dengan komposisi berjudul "Galaxy", "Bridge Day", "Seroja"—lagu tradisional Aceh yang pernah pernah menjadi soundtrack film Laskar Pelangi—dan ditutup dengan "Melayu Funk".
Hampir setiap komposisi lagu mereka mainkan dari tempo normal ke tempo yang sangat cepat. Di tengah-tengah antara lagu kedua dan ketiga, setiap pemengang alat musik diberi kesempatan memainkan alat secara solo dan menunjukkan skill musik mereka masing-masing.
Jujur saja, kelompok musik ini seketika langsung merebut hati saya. Menurut saya Malacca Ensemble sukses menyeimbangkan harmoni khas Melayu dengan jazz, dan terdengar nyaman sekali di telinga saya. Komposisi yang paling saya sukai dari Malacca Ensemble adalah yang berjudul Galaxy.
Beben Jazz And Friends
Menyusul kemudian, kelompok musik asal Jakarta, Beben Jazz and Friends naik ke panggung. Warna jaz yang dibawakan oleh grup satu ini lebih ke swing jazz dengan vokalis yang mahir melakukan scat singing ala Al-Jarreau atau Tompi. Beben Jazz and Friends ini cukup interaktif dengan penonton, dan sering sekali meminta para penonton untuk bernyanyi bersama.
photo by: Artebia
Lagu-lagu yang dibawakan diurutkan mulai dari lagu jazz tertua yang sudah ada pada tahun 1920-an; jazz opera hingga jazz ala Broadway berjudul "Fly Me To The Moon" yang diciptakan tahun 1954; maju ke tahun 1980 dengan lagu "Just The Two of Us"; dan ditutup dengan "Mas Que Nada" yang pernah dinyanyikan oleh Sergio Mendez, dan pada pertengahan tahun 2000-an di daur ulang kembali oleh kelompok musik Black Eyed Peace.
Yang Paling Saya Tunggu: Ring of Fire Project feat. TohPati dan Endah Laras
Grup musik besutan sang penggagas Jazz Gunung, Djaduk Ferianto, ini juga merupakan salah satu alasan utama saya menonton langsung Jazz Gunung di Bromo. Betapa tidak, musik-musik etnis yang di-jazz-kan, bagi saya adalah sebuah mahakarya seni musik yang sangat indah. Djaduk Ferianto piawai memainkan alat-alat musik perkusi, seruling, gendang, hingga alat-alat musik modern.
djaduk ferianto (kanan) photo by: dewi magazine.com
Menggandeng Endah laras yang seorang sinden dan penyanyi kawakan Indonesia; sebuah grup musik keroncong beranggotakan tiga orang; serta Tohpati, gitaris yang sudah tak asing lagi bagi kita, Ring of Fire Project melantunkan komposisi-komposisi jazz etnik yang luar biasa. Diawali dengan lagu daerah Jawa Barat, Es Lilin, Endah Laras menunjukkan kemahirannya menyanyi ala sintren alias sinden Sunda. Suara sopran melengking tanpa fals milik Endah Laras yang bertubuh gemuk namun sangat enerjik ini sukses menyihir penonton saat menyanyikan lagu etnis Banyuwangi-an.
Endah Laras photo by: Taman Ismail Marzuki
Komposisi baru ciptaan Tohpati berjudul Rahwana yang diolah dalam versi jazz etnis ala Ring of Fire Project, turut memberi warna dalam Jazz Gunung malam itu.
Ring of Fire ini juga menyisipkan intermezzo berupa humor-humor segar di beberapa jeda antar lagu, dengan percakapan yang dijalin antara Djaduk, Endah Laras, dan dua orang pemandu acara Jazz Gunung 2015 yang "gokil abis": Alit dan Gundhi. Lawakan yang disampaikan sedikit banyak memang menggunakan bahasa Jawa, sehingga beberapa penonton mungkin ada yang "tidak nyambung" karena tidak mengerti artinya. Meski demikian, intermezzo ini berhasil menghangatkan suasana dalam dinginnya malam yang menusuk tulang.
Dua lagu terakhir yang dimainkan oleh Ring of Fire Project berjudul Kerinduan dan ditutup oleh lagu Jawa berjudul "Ayo Ngguyu" yang dijalin secara interaktif dengan penonton dengan mengajak tertawa bersama.
Nita Aartsen feat. Ernesto Castillo
Suasana yang cukup panas akhirnya diteduhkan kembali oleh penampilan Nita Aartsen yang mengajak dua musisi internasioanl dalam penampilannya di Jazz Gunung 2015. Adalah Ernesto Castillo, gitaris asal Kuba dan Ian Yngram, saksofonis asal Inggris, meramaikan penampilan elegan Nita malam itu. Nita Aartsen memainkan keyboard sekaligus menjadi vokalis.
Nita Aartsen (kiri) photo by: flickr.com
Penampilan solo dari Ernesto yang memainkan nada "Kopi Dangdut" dengan gitar cukup memukau penonton. Nita Aartsen juga menunjukkan kemahirannya ber-scat singing dalam nomor "Aqua De Beber". Musik jazz yang dibawakan Nita Aartsen dan Ernesto cenderung lebih lembut dan bertempo lambat. Tiupan saksofon Ian Yngram terlibat paling banyak dalam komposisi "Mika's Melody". Nitaa Aartsen feat. Ernesto Castillo menutup penampilan mereka dengan berkolaborasi dengan Djaduk serta mengundang penari Capuera dalam komposisi ciptaan Ismail Marzuki yang katanya belum pernah ditampilkan di mana pun, berjudul Irian Samba.
Andien
Andien photo by: kapanlagi
Jazz Gunung 2015 ditutup dengan penampilan memukau dan sangat interaktif dari penyanyi jazz terkenal Indonesia, Andien. Saya tak perlu berkomentar banyak tentang penampilan Andien, karena sudah jelas sangat memukau meski penyanyi bertubuh mungil ini nampak "tebal" karena kostum lapis lima yang harus dikenakannya agar tak kedinginan di tengah penampilan.
Akhir kata, Jazz Gunung 2015 adalah jazz gunung pertama bagi saya. Kesan pertama saya tentang acara ini, singkat saja: It's very very worth it and I'm gonna be back there next year. Info selengkapnya mengenai Jazz Gunung, dan bagaimana Jazz Gunung 2015 Day 1 berlangsung bisa diakses di situs resmi Jazz Gunung.
Keep Jazzy, Artebianz!

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.
Profil Selengkapnya >>