Peneleh Daerah Penuh Pesona dan Sejarah: Rumah HOS Tjokroaminoto

15 Nov 2014    View : 9173    By : Niratisaya


Siapa yang tidak kenal dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto alias HOS Tjokroaminoto?

Artebianz tentunya pun akrab dengan nama pemilik rumah tempat Bung Karno, Kartosoewirjo, dan tokoh-tokoh politik lainnya sempat ngekos sekaligus menimba ilmu. Paling tidak Artebianz sempat mendengarnya dari guru-guru sejarah di sekolah.

Setelah sebelumnya saya sempat menuliskan tentang sejarah Jalan Peneleh, kali ini secara khusus saya akan membahas mengenai rumah peninggalan mantan mertua Bung Karno tersebut.

 

Rute Menuju Rumah Peninggalan HOS Tjokroaminoto

Tidak sulit menemukan rumah HOS Tjokroaminoto ini. Artebianz bisa mengendarai bus menuju Jembatan Merah kemudian berganti angkot lyn Keputih dan turun tepat di Jembatan Peneleh.

Atau, jika Artebianz gemar berjalan kaki, Anda bisa meniru strategi Tim Artebia yang langsung mengendarai angkot lyn GL menuju Blauran kemudian berjalan lurus menuju Jalan Bubutan dan menyeberang menuju Jalan Baliwerti, lalu belok kanan ke Jalan Gemblongan.

Dari Jalan Gemblongan Artebianz berjalan lurus. Nah, di sebelah kiri Anda akan menemukan sebuah taman dan di seberangnya terdapat jembatan yang melengkung di atas Kali Mas. Artebianz tinggal menyeberangi jembatan, tanpa perlu belok ke mana-mana. Di ujung Artebianz akan melihat sebuah gang dengan tulisan Peneleh Gang VII.

Peneleh Gg VIIPeneleh Gang VII

Sebenarnya ada sebuah papan petunjuk. Namun hanya akan terlihat bagi mereka yang mengambil jalur Jalan Achmad Jais. Artebianz tinggal berjalan beberapa meter, kemudian Anda akan menemukan sebuah rumah berwarna hijau di sana dengan dua tiang yang bernomorkan 29 dan 31. Di sanalah rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto.

Baca juga: Mengenang Sejarah Dukuh Kemuning Dan Menguak Peninggalan Kepurbakalaannya

 

 

Sejarah Rumah HOS Tjokroaminoto

Berdasarkan referensi salah satu situs, rumah yang dihuni oleh HOS Tjokroaminoto bersama istri dan putrinya pada awalnya milik seorang pedagang etnis Tionghoa. Karena ia sering bepergian ke luar kota karena urusan bisnis, rumah mungil bertipe 36 itu jarang ia tempati. Pedagang dengan etnis Tionghoa tersebut pun menjualnya pada pedagang lain, seorang saudagar keturunan Arab. Namun, karena alasan yang sama, pemilik kedua rumah tersebut pun menjual rumah itu. Pada kesempatan ketiga ini pembeli rumah itu adalah seorang bangsawan berdarah biru yang adalah putra kedua dari Raden Mas Tjokroamiseno: Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Bagian Depan Rumah HOSTRuang tamu HOS Tjokroaminoto

Rumah mungil dengan gaya khas bangunan Jawa itu tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga Tjokroaminoto, tetapi juga sebagai tempat kos pelajar-pelajar Hoogere Burgelijks School (H.B.S). Dengan bantuan istrinya, HOS Tjokroaminoto menyulap rumah kecilnya menjadi pesantren mungil untuk menggembleng para anak kos yang juga santrinya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Mulai dari ilmu agama hingga politik. Tujuan utama HOS Tjokroaminoto adalah agar gagasan serta pandangan para generasi muda kala itu lepas dari kungkungan serta ideologi penjajahan kolonial Belanda.

Bagian Tengah dan Depan Rumah HOSTBagian tengah dan depan rumah HOS Tjokroaminoto

Posisi dan perannya sebagai bapak kos kala itu menempatkan HOS Tjokroaminoto bukan hanya sebagai pemimpin Sarekat Islam, tetapi juga sebagai guru dan teladan para muridnya.

 

 

Alih Kepemilikan Rumah HOS Tjokroaminoto

Dari cerita yang saya peroleh tidak terlalu jelas bagaimana akhirnya rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto ini beralih dari tangan Bung Karno, yang pada tahun 1921 menjadi menantu lelaki kelahiran Yogyakarta tersebut, ke pemilik terakhir. Atau bagaimana rumah tersebut lepas dari tangan putri semata wayang HOS Tjokroaminoto, Siti Oetari.

Konon, pemilik terakhir rumah mungil itu menjadikan tempat tersebut sebagai guest house hingga akhirnya diambil alih oleh pemerintah. Mengenai proses pengambil alihan rumah di Jalan Peneleh Gang VII ini pun agak simpang siur.

Beberapa sumber menyebutkan proses pengambil alihan rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto tidak sesulit bekas rumah Bung Karno yang ada di Gang IV. Beberapa sumber lainnya mengatakan proses negosiasinya sama alotnya. Namun satu yang pasti, perabotan di bagian dalam rumah kakek buyut Maya Estianty ini tidaklah asli. Furnitur-furnitur di dalam rumah tersebut adalah replika, termasuk foto Bung Karno dengan istri pertamanya (Siti Oetari). Hal ini dikarenakan pemilik terakhir rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto memilih untuk menyimpan perabot asli.

Bagian Belakang Rumah HOSTBagian Belakang Rumah HOS Tjokroaminoto

Meski demikian, aura rumah ini terasa masih sama seperti rumah-rumah kuno yang sama sekali tidak tersentuh oleh perubahan zaman. Begitu memasuki rumah HOS Tjokroaminoto, Tim Artebia seakan tidak lagi berada di tahun 2014. Mungkin hal ini disebabkan oleh perawatan dan replika furnitur rumah yang benar-benar mirip aslinya.

Akan tetapi, Artebianz, di antara semua perabotan di rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto, Tim Artebia tidak menjumpai satu pun ranjang kuno di satu-satunya kamar yang ada di lantai satu. Hanya ada sebuah bufet dengan kaca. Sementara itu di bagian belakang rumah pun tidak terlihat dapur atau bekasnya. Hanya ada sebuah kamar mandi yang bersebelahan dengan tangga menuju lantai dua.

Sebuah ruangan yang sama sekali tidak memiliki perabotan. Hanya ada sebuah alat penyedot debu di ruangan berlantai kayu tersebut. Namun jangan salah, Artebianz, di ruangan tersebut kami justru merasakan aura yang cukup kuat. Kami menduga ruangan tanpa perabotan tersebut dulunya adalah kamar kos para murid HOS Tjokroaminoto.

Baca juga: House Of Sampoerna: Sebuah Album Kenangan Kota Surabaya

 

 

Pengelolaan Rumah HOS Tjokroaminoto

Rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto saat ini berada di tangan Pemerintah Kota Surabaya. Akan tetapi ada yang patut disayangkan di sini. Meski telah berada di tangan Dinas Pariwisata, pengelolaan rumah cagar budaya ini ada di tangan RT Peneleh Gang VII. Ketika Tim Artebia hendak mengunjungi rumah HOS Tjokroaminoto ini, kami harus berjalan hingga ke ujung gang, melewati makam sesepuh kawasan Peneleh (Mbah Singo) dan belok menuju jalan yang lebih sempit untuk menemui RT dan menyampaikan keinginan kami.

Makam Mbah SingoMakam Mbah Singo, sesepuh Peneleh

Mulanya kami mengira pengelolaan ada di tangan salah satu pemilik rumah di depan rumah HOS Tjokroaminoto, misalnya saja para pegawai Toko Buku Peneleh, yang mengerti sejarah atau setidaknya memelajari cerita rumah dan pemiliknya yang lumayan legendaris. Tetapi tidak. Pemandu kami kala itu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya menceritakan beberapa hal kecil di permukaan, sebelum meninggalkan Tim Artebia untuk menguasai rumah cagar budaya itu beberapa menit.

Hal ini cukup disayangkan, karena rumah HOS Tjokroaminoto adalah saksi bisu peristiwa dalam catatan panjang sejarah bangsa Indonesia. Lewat pemikiran HOS Tjokroaminoto yang mengubah rumahnya menjadi semacam pondoklah terlahir anak-anak bangsa dengan pemikiran yang modern dan radikal—yang mengubah warna kehidupan bangsa Indonesia.

Selain itu, di rumah tersebut pula terbentuk Sarekat Dagang Islam yang berubah menjadi Sarekat Islam, kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia di tahun 1912.

Plakat

Dengan banyaknya peristiwa bersejarah di rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto ini, sudah semestinyalah pengelolaan dibuat lebih serius. Pemerintah Kota Surabaya bisa menyulap Jalan Peneleh Gang VII menjadi kawasan wisata sejarah, mengingat ada sekitar lima poin wisata di sana. Mulai dari Toko Buku Peneleh, toko buku pertama di Surabaya, yang ada di depan rumah HOS Tjokroaminoto (tetapi malah terlihat seperti rumah tua biasa yang beralih menjadi toko buku kecil), hingga Makam Belanda—sebuah makam modern tertua di Indonesia.

 

 

Ongkos dan Pengeluaran

Untuk wisata sejarah kali ini Tim Artebia tidak merogoh kocek terlalu dalam. Kami hanya mengeluarkan uang transportasi:

  1. Ongkos naik angkot PP masing-masing Rp8.000,00
  2. Uang sebagai ucapan terima kasih pada keluarga RT setempat yang memegang kunci.

Di luar uang terima kasih, pengeluaran Tim Artebia saat itu sekitar Rp25.000,00 (plus untuk beli minuman).

 

 

Saran Tim Artebia

Sekadar saran dari saya, Artebianz, ada baiknya membawa makanan ringan dan minuman dari rumah. Sebab, harga makanan dan minuman di jalan bisa menjadi dua kali lipat. Selain itu, persiapkan diri dengan tidur cukup sebelumnya. Tentu saja setelah Anda mengecek semua barang-barang yang akan dibawa.

Baca juga: Gedung De Javasche Bank Surabaya - Saksi Sejarah Panjang Perbankan Indonesia

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Wisata Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Traveling: Mimpi, Destinasi, Tujuan, Makna


My Boyfriend's Wedding Dress... Gaun Pengantin Cowokku?


Patirthan Candi Kidal Yang Tersembunyi


The Grand Budapest Hotel - Mereka Yang Layak Disebut


Nicoline Patricia Malina: Fotografer Cantik Muda Berbakat


Mojok dan Makan Mi di Pojok II, Perak, Jombang


Kedai Tua Baru Surabaya: Sajian Ala Malaysia-Jawa


Balada Sebuah Perut


Anti-Hero - Menjadi Pahlawan dengan Tidak Menjadi Pahlawan


Literasi Oktober: Big Bad Wolf Menghantui (Pecinta Buku) Surabaya


Sajak Orang Rantau


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Tujuh)