Indah Kurnia, Memimpin Tanpa Kehilangan Identitas Sebagai Wanita

25 Jul 2014    View : 6949    By : Niratisaya


“Bukan hanya kecantikan fisik belaka yang harus dimiliki seorang wanita, tetapi juga kecantikan otak dan hati.”

 

Indah Kurnia adalah salah seorang anggota DPR-RI juga menjabat sebagai anggota Pansus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ia pernah meraih penghargaan MURI karena sanggup menyanyikan 714 lagu tanpa teks. Oleh lembaga yang sama,  wanita kelahiran Surabaya ini juga diganjar penghargaan karena mampu memegang rekor sebagai “Perempuan Manajer Sepak Bola Pertama” yang berhasil membawa Tim Persebaya menjadi Juara Liga Indonesia 2006. Dan masih ada banyak seabrek prestasi yang diraih oleh politikus partai PDI-P ini.

Namun, pada kesempatan kali ini saya tidak akan membahas mengenai prestasi-prestasi Indah Kurnia. Sebaliknya, di artikel kali ini saya akan membawa kamu, Artebianz, ke ranah yang mungkin dilewatkan begitu saja oleh sebagian orang yang terobsesi pada kehidupan dan kesuksesan Kurnia, yakni kehidupan pribadinya sebagai seorang ibu dari tiga anak.

Adalah kutipan di bagian awal artikel inilah yang membuat saya tertarik pada kehidupan pribadi Kurnia dan bagaimana ia mendidik anak-anaknya di tengah kesibukannya. Menurut pengakuan Kurnia, ia bukanlah tipe perempuan yang sanggup menyediakan makanan lezat di meja makan tiga kali sehari untuk anak-anaknya. Namun Kurnia berjanji bahwa ia memastikan akan selalu ada santapan tiga kali sehari untuk anak-anaknya.

Dengan semangat berapi-api, Kurnia menceritakan kehidupan masa kecilnya yang rupa-rupanya menjadi akar karakter ulet dan bersemangatnya hingga kini.

Seminar Bersama Indah Kurnia

Kurnia terlahir dari keluarga berekonomi pas-pasan. Hal ini menempatkan Kurnia Kecil untuk belajar hidup sehemat mungkin dan memanfaatkan segala kelebihannya untuk menghasilkan uang secara halal. Hingga suatu hari, ia mendapatkan kesempatan untuk menghasilkan uang lebih lewat menyanyi. Tak mau menyia-nyiakan hal ini, wanita berzodiak Leo ini pun menyeriusi profesinya sebagai penyanyi. Dari 500 rupiah, upah Kurnia kemudian naik menjadi 15.000 rupiah—sebuah nilai yang tidak main-main untuk ukuran tahun 70-an.

Baca juga: Wawancara Dengan Cindy Owada: Mengenal Lebih Dekat WTF Market Dan Brand Lokal Indonesia

 

 

Berkah Menyanyi Bagi Indah Kurnia

Dunia tarik suara mengenalkan banyak hal pada Kurnia, baik dari sisi positif dan negatif. Dari sisi positif ia melihat luasnya cakrawala budaya yang menghubungkan bukan hanya sesama penggemar musik, tetapi juga antarras dan antaragama untuk menjalin tali persaudaraan. Meski memeluk agama kristen, tanpa ragu alumnus STIE Artha Bodhi Iswara ini mempelajari lagu-lagu bernafaskan islami tatkala ia diminta menjadi vokalis untuk salah satu grup qasidah di wilayah Gresik.

Akan tetapi, dunia menyanyi juga memperlihatkan pada Kurnia, betapa masih sempitnya pandangan masyarakat umum mengenai seorang perempuan yang menekuni dunia menyanyi. Bahwa mereka hanyalah perempuan-perempuan berwajah cantik dengan otak kosong. Kemungkinan bukan hanya satu-dua pengalaman demikian yang dialami oleh Kurnia, sehingga kemudian dalam benak perempuan yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Infokom DPD PDI Perjuangan Jawa Timur ini timbul dendam positif: menghapus stigma bahwa penyanyi perempuan hanyalah orang-orang bodoh. Alih-alih berusaha untuk menampakkan kecerdasannya dengan menambah sederet titel kesarjanaan di namanya, Kurnia justru memanfaatkan kelebihannya di bidang tarik suara dalam bidang pekerjaannya.

Tekad menguat, gayung pun bersambut. Kesempatan datang pada Kurnia untuk membuktikan talenta dirinya dari salah satu bank swasta. Demi meningkatkan klien dan nasabah, bank tersebut dengan sengaja merekrut banyak atlit dan seniman sebagai pegawai. Kurnia pun tak luput dari incaran bank tersebut.

“Wanita harus bisa membangun kualitas diri sembari menunggu kesempatan yang datang dari Tuhan, lewat orang-orang di sekitar kita.”

Demikianlah ujar Kurnia ketika membicarakan kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia yang cenderung membelenggu perempuan agar terikat dalam ranah domestik saja. Memang sudah menjadi fitrah seorang perempuan untuk menunggu, tetapi bukan lantas ia hanya duduk diam menunggu uluran tangan. Dalam menunggu, perempuan wajib untuk mengasah dirinya—untuk membangun kualitas dirinya dengan menguasai bidang-bidang kerjanya—agar kelak ia dikenal sebagai sosok tangguh tanpa meninggalkan identitasnya sebagai seorang wanita.

Budaya patriarki boleh menempatkan para perempuan dalam porsi pelengkap kehidupan lelaki. Namun tidak lantas perempuan sendiri membiarkan dirinya terkucil dalam peran pelengkap kehidupan. Sebab, bukankah Nabi Muhammad SAW menghormati sosok wanita, sehingga alih-alih tak mengacuhkan kelahiran Sang Putri—Siti Fatimah—layaknya lelaki-lelaki Timur Tengah pada saat itu, beliau justru menyayangi putrinya tersebut.

Baca juga: Tango - Surealisme Hubungan Wanita-Pria dan Diri

 

 

Wujud Sebuah Keberhasilan Bagi Indah Kurnia

Sebuah keberhasilan dapat berwujud kepercayaan sekitar kepada seseorang. Ia dapat pula berbentuk jabatan atau penghargaan. Namun bagi Indah Kurnia, wujud keberhasilannya adalah ketika putrinya, Verlita Evelyn, menuliskan sebuah buku baginya. My Wonderfull Wow Mom.

Verlita Evelyn dan BundaDiambil dari ns1.kompas.web.id

Buku tersebut membuktikan bahwa meski ia tak pernah bisa hadir dan menemani putrinya secara utuh di rumah, tetapi putrinya tersebut tetap menyayangi dan menghormati Kurnia seolah-olah ia melengkapi peran tradisional seorang perempuan dalam keluarga. Walau toh, menurut pengakuan Kurnia, dirinya yang tak mampu memasak dan bersih-bersih hanya bisa menemani anak-anaknya untuk belajar. Meski hal itu memaksanya untuk mempelajari pelajaran-pelajaran semua buah hatinya terlebih dulu, sebelum ia menemani mereka belajar.

Apa pun peran seorang perempuan dalam jenjang pekerjaan, selayaknya ia masih mengingat perannya di dunia domestik. Bukankah perempuan adalah asal-muasal perkembangan generasi manusia berikutnya? Bila seorang perempuan tak mampu menempatkan diri sebagai wanita, dan memaksakan dirinya ke dalam dunia maskulin—atau lebih buruk, membiarkan dirinya larut dalam tuntutan untuk sekadar menjadi trofi kebanggaan dalam dunia fana ini, apa jadinya generasi manusia di masa depan?

Baca juga: Cinderella dan Wanita Masa Kini: Sebuah Dekonstruksi Dongeng

 

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Figur Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Laki-laki, Perempuan... Mana yang Lebih Baik?


Bicara Tentang Orizuka - Menulis Adalah Passion, Bukan Occupation


I Love You; I Just Can't Tell You


The Grand Budapest Hotel - Mereka Yang Layak Disebut


HiVi - Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi


Dari Surga Belanja Menjadi Surga Makanan, Kedai Tunjungan City


Perpustakaan Balai Pemuda Surabaya


Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Kabupaten Malang (Bagian 1)


Literasi Februari: GRI Regional Surabaya, Gol A Gong, dan Tias Tatanka


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Pertama)


Oma Lena - Part 3


Tentang Waktu