Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Kabupaten Malang (Bagian 1)

08 Nov 2016    View : 8821    By : Kopi Soda


Siapa yang tidak mengenal sosok Ken Angrok (penulisan yang benar adalah “Ken Angrok” bukan “Ken Arok”, penulis) sang pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari) sekaligus cikal bakal raja-raja Majapahit.

Ken Angrok adalah pemuda yang berambisi menjadi raja. Cita-citanya berhasil setelah Ken Angrok menggulingkan Kerajaan Kadiri. Namun masa-masanya menjadi menjadi raja di Tumapel tidaklah lama karena dia tewas di tangan anak tirinya sendiri. Setelah meninggal, Ken Angrok di-dharma-kan (dimonumenkan) di candi yang berlokasi di Desa Kegenangan, sebagai Siwa dan Buddha. Kini, candi tersebut menjadi misteri karena banyak yang tidak tahu lokasi beserta letaknya, yang ternyata berada di Kabupaten Malang.

Hal ini amat disayangkan karena sosok dan tokoh yang besar ini jarang sekali yang mengkajinya. Karena itu, mari kita berpetualang dan menelusuri wilayah Kabupaten Malang untuk menemukan candi tempat pen-dharma-an Ken Angrok. Berikut ulasan hasil penelusuran penulis dengan rekan-rekan di situs tersebut.

Selamat membaca!

 

 

Sekilas Tentang Ken Angrok

Ken Angrok adalah pendiri sekaligus raja pertama Tumapel (Singhasari), dia juga yang menjadi wangsakara, sekaligus pendiri Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Dinasti Girindra (Girindrawangsa) dan menjadi cikal bakal raja-raja Singhasari dan Majapahit. Kisah Ken Angrok didapati dalam susastra “Pararaton” dan “Negarakretagama”. Walaupun prasasti yang dikeluarkan oleh Ken Angrok sampai saat ini belum diketemukan, tetapi terdapat empat buah prasasti lain yang dianggap memberikan petunjuk mengenai kisah tokoh Ken Angrok.

Prasasti-prasasti tersebut antara lain yaitu Prasasti Balawi dari tahun 1227 Saka (1305 M), Prasasti Maribong (Trawulan II) dari tahun 1186 Saka (1264 M), Prasasti Kusmala (Kandangan) dari tahun 1272 Saka (1350 M), dan Prasasti Mula-Malurung dari tahun 1177 Saka (1255 M) (Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia II, 2010:424).

Ken Angrok meninggal tahun 1227 M akibat dibunuh oleh anak tirinya, Anusapati, sebagai balas dendam terhadap pembunuhan Tunggul Ametung. Ken Angrok kemudian dicandikan di Kagenengan (sebelah Selatan Singhasari) dalam bangunan suci agama “Siwa dan Buddha” (Soekmono, 1981:63).

Baca juga: Patirthan Candi Kidal yang Tersembunyi

 

 

Tentang Tempat Pen-dharma-an Ken Angrok

Terdapat tiga sumber informasi mengenai tempat pen-dharma-an Ken Angrok. Ketiga sumber tersebut yaitu a) Pararaton; b) Nagarakretagama; dan c) Prasasti Mula-Malurung. Ketiga sumber tersebut sama-sama memberitakan bahwa Ken Angrok atau Sri Rajasa di-dharma-kan di “Kagenengan”. Uraian dari Pararaton adalah sebagai berikut:

“... Linira sang Amurwabhumi i saka 1169. Sira dhinarmeng Kagenengan.” (Padmapuspita, 1966:24).

Berikut terjemahan artinya menurut R. Pitono Hardjowardjojo (1965:32): “...Waktu meninggalnya sang Amurwabhumi pada tahun Saka 1169. Beliau dicandikan di Kagenengan." 
Sementara itu, Nagarakretagama memberitakan sebagai berikut:

“ .... ring saka syabdhi rudra krama kalahaniran mantuking swargga loka, kyating rat sang dhinarmma dwaya ri kagenengan sewa bhoddhengusana.”

Artinya: “... pada tahun saka Asyabdhirudra-1149 (1227 Masehi) Baginda berpulang ke alam baka (Siwa Loka), tersohor di dunia Baginda diabadikan di Candi Kagenengan berwujud Siwa Buddha sejak dahulu." (Riana, 2009:207).

Di sisi lain versi transkrip Pigeaud (1960) dalam Suwardono (2013:238) sedikit berbeda dengan transkrip versi Riana (2009). Berikut transkrip versi Pigeaud (1960):

“... ri sakasyabdi rudra krama kalahaniran mantuk ing swarggaloka, kyatin rat sang dinarmma dwaya ri kagnanan ssewabodden usana.”

Berikut artinya menurut Slamet Muljana (2006:365): “... Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada, Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha (Usana) bagai Buddha.”

Lebih lanjut lagi Nagarakretagama menguraikan cukup detail mengenai tentang tempat pen-dharma-an Sri Rajasa sebagai cikal bakal atau pendiri Dinasti Rajasa. Uraian tersebut merupakan hasil pengamatan langsung Prapanca yang menyertai Raja Hayam Wuruk ketika tour de inspection di Kagenengan pada 1359 Masehi. Kemudian, Prapanca menggambarkan tempat tersebut pada Pupuh XXXVI dan XXXVII dalam Negarakretagama sebagai berikut:

 

Pupuh XXXVI:

1. Pada subhakala Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan, akan berbakti di pen-dharma-an bhatara bersama segala pengiringnya, harta alat, dan makanan mengiringkan bunga beserta upacara indah didahului kibaran bendera terdukung ramai orang menonton.

2. Setelah penyekaran, narapati keluar dikerumuni rakyat menghadap, para pendeta Siwa-Buddha, dan bangsawan dekat berderet di sisi beliau, tidak berkata waktu baginda bersantap menurut nafsu kehendak hati, seadanya rakyat dianugrahi kain-kain yang meresapkan pandangan.

Replika Kitab Negarakertagama

Baca juga: Misteri Makam Tetua Desa Jogoroto, Jombang

 

Pupuh XXXVII:

1. Tersebut keindahan candi makam wujudnya tiada bertara pintu gerbangnya terlampau indah lagi tinggi bersabuk dari luar, di dalam terbentang halaman dengan balai berderet di tepinya, penuh segala macam bunga tanjung (mimusops elengi) nagasari indah dan ajaib.

2. Menara menjulang tinggi di tengah-tengah terlampau indah, seperti Gunung Meru tempat Siwa dengan Arca Siwa di dalamnya, layak karna putra Girinatha dipandang raja dewa menjelma, trah leluhur Sri Naranata yang disembah diseluruh dunia.

3. Sebelah selatan pen-dharma-an ada tempat suci yang terbengkalai, tembok dan pintu gerbangnya tinggi kiranya tempat suci kebudaan, di dalamnya ada lantai kakinya barat telah hilang tinggal yang timur hanya sanggar dan pamujaan yang utuh, temboknya tinggi dari bata merah.

4. Di sebelah utara tanah dan kaki balai telah merata, terpencar tanamannya nagapuspa, merah halamannya waktu bertunas berbunga, di luar pintu pabaktan tanahnya tinggi terbuang (longsor) luas dalamnya tertutup jalannya penuh rumput serta lumut.

5. Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu pucat, bertebaran daun cemara yang diterpa angin kusut bergelung, kelapa gading melulur tapasnya pinang letih lusuh melayu, bambu gading melepas pelepahnya layu merana tak ada hentinya (Muljana, 2006:361-362 dan Riana, 2009:187-191 dengan sedikit perubahan).

Kemudian, lebih lanjut lagi informasi mengenai tempat pen-dharma-an Ken Angrok di Kagenengan terdapat pada prasasti Mula-Malurung (1254 M), juga disebutkan berhubungan dengan kakek dari Nararya Smining Rat (yang mengeluarkan prasasti), kakeknya adalah pendiri Kerajaan Tumapel yang meninggal di dampar kencana (singgasana) dan di-dharma-kan di Kagenengan (Suwardono, 2013:242).

Berikut ini keterangan dari prasasti Mula-Malurung tersebut pada lempeng II b:

1. Mbhanda. gati saŋ prāńarāja. ankadi hulun=kalilin=parńnaą saŋ prāńarāja śaiwake sira narāryya smi niŋ rāt. tiűkah saŋ

2. Prāńarāja. śaiwaka ri sira kaki nira narāryya smi niŋ rāt. sira saŋ līna riŋ ůāmpa mās. sira saŋ pinratiśőa nira narāryya

3. Smi niŋ rāt. makaswarūpaŋ wiśńwarccha. maűkāne64 saŋ hyaŋ dharmme “kagněnan” ... (Nastiti, 2010:402-403).

Sekarang timbullah pertanyaan: di manakah letak tempat Candi Kagenengan tersebut?

Sukamto (1997:33-38) memiliki pendapat yang  sama dengan Agus Aris Munandar, seorang arkeolog dari Universitas Indonesia, mengidentifikasi Candi Kagenangan tersebut sebagai Candi Kalicilik yang sekarang berada di Dusun Candirejo, Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.

Dasar argumen Sukamto adalah pertama, candi tersebut bentuknya sama dengan candi Sawentar dan Kidal yang keduanya dibuat pada zaman Singhasari. Kedua, Candi Kalicilik disebut oleh Raffles sebagai “Candi Genengan”. Sementara itu, Hoepermans menyebutnya poetton.

"Poetton" berasal dari kata “puthuk” (bahasa Jawa). Puthuk adalah tempat yang tingginya melebihi tempat sekitarnya. Pengertian namanya sama dengan “Genengan” (Jawa). Terakhir, di sebelah selatan Dukuh Candirejo terdapat Dukuh Rajasa yang identik dengan gelar Ken Angrok yaitu “Sri Rajasa”.    

Tentu saja argumen Sukamto tersebut harus kita tolak karena bertentangan dengan informasi yang terdapat pada Negarakretagama. Dalam Negarakretagama disebutkan bahwa tempat yang bernama Kagenengan berada di sebelah selatan Singhasari hal ini menguatkan bahwa Kagenengan berada di wilayah Malang bagian selatan dan harus dicari di wilayah tersebut.

Akan tetapi terdapat tiga tempat di Malang yang bernama “Genengan”. Pertama yaitu Dusun Genengan, Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso. Di sekitar dusun tersebut (tepatnya di Dusun Girimoyo, Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso) memang terdapat situs dan artefak yaitu antara lain Arca Lembu Nandi/Nandiswara yang disebut oleh warga sekitar dengan nama “Watu Banteng”. Arca ini memiliki tinggi sekitar 80 cm, panjang 2 m, dan lebar sekitar 1 m, dengan posisi arca sedang nderum (duduk) di tepi sungai. Di sekitar arca ditemukan juga batu umpak, lingga dan yoni, serta batu berukir bunga teratai.    

Sementara itu, sekitar 40 meter dari situs Watu Banteng, tepatnya di Dusun Genengan, Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso, sendiri juga terdapat artefak yang berada di kompleks makam di dekat kompleks Markas Yonkes Karangploso. Di lokasi yang berada di tengah kuburan itu terdapat 3 buah watu lumpang, 2 batu gong berdiameter sekitar 40 cm, 1 buah batu mirip kendang, batu bermotif bunga teratai, batu persegi empat ukuran sekitar 50 x 50 cm, dan sejumlah batu yang tak berukuran.

Menurut sejarawan Suwardono di sekitar lokasi situs Watu Banteng dan Watu Gong dulunya diduga sebagai tempat Mandalaka Dewaguruan di zaman Hindu, atau semacam pesantren di zaman sekarang. Salah satu indikasinya adalah Arca Lembu Nandi/Banteng, batu gong, lingga dan yoni, serta batu bermotif teratai yang menjadi ciri adanya tempat peribadatan di mandala tersebut (Radar Malang, 2014:25&35).

Jadi, lokasi situs kepurbakalaan di Dusun Genengan, Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso kurang kuat untuk dijadikan identifikasi lokasi candi pen-dharma-an Ken Angrok. Selain itu, jarak tempuh antara Singhasari ke Karangploso cukup dekat. Padahal dalam Negarakretagama ketika Hayam Wuruk pergi ke Kagenengan dari Singhasari membutuhkan waktu setengah hari perjalanan.

Gunung KatuSumber: kayuhanku.blogspot.com

Baca juga: Menguak Sejarah dan Rahasia Dukuh Kemuning, Malang

 

Kemudian yang kedua, terdapat juga sebuah desa di Malang yang bernama Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji, sekitar 8 km dari pusat kota di jalan raya menuju Kepanjen. Di desa tersebut pernah ditemukan peninggalan berupa lingga dari batu andesit (Sidomulyo, 2007:79). Lingga dan yoni tersebut berada di salah satu punden desa, sementara di punden desa yang lain didapati sebuah Arca Durga. (Putri, 2016:01 diakses 11/10/2016:09:25 WIB). Selain itu, juga ditemukan beberapa artefak di kantor kepala desa Genengan yaitu berupa arca (bertipe Polinesia), sebuah lumpang batu, dan sebuah umpak. Akan tetapi semua tinggalan di Desa Genengan tersebut belum cukup kuat untuk diidentifikasikan sebagai reruntuhan candi pen-dharma-an Ken Angrok.    

Terdapat kemungkinan ketiga yaitu terdapat sebuah dusun bernama Dusun Genengan, Desa Prangargo, Kecamatan Wagir, yang merupakan tempat terkuat untuk diidentifikasikan sebagai tempat pen-dharma-an Ken Angrok. Hal ini sejalan dengan tinggalan arkeologis yang ada di wilayah tersebut, sesuai dengan catatan Belanda dan informasi lisan dari penduduk setempat.

P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1915 sempat mengunjungi reruntuhan kepurbakalaan yang berada di Genengan-Wagir, dan mencatat dalam berita yang hanya satu lembar pada TBG (Tijdschrijft voor de Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde, uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) No. LVII tahun 1916 halaman 200. Dalam catatannya tersebut Callenfels menggambarkan kondisi situs dalam keadaan sunyi dan sebagian bangunan ada yang terbengkalai persis dengan berita yang ada di Negarakretagama.

Sekitar tahun 1930-an, W.F. Stutterheim juga berkunjung ke Genengan-Wagir dan mencatatnya sebagai bahan karya tulisnya yang berjudul “Een bijzettingsbeeld van Koning Rajasa?” dalam TBG no. LXXIX, 1939. Stutterheim mencatat dalam laporannya bahwa reruntuhan sudah banyak yang hilang. Ia juga menemukan Arca Lembu Nandi, tapi tidak di Genengan. Namun di sebelah utara dekat Gunung Katu (Suwardono, 2013:243-244). 

Baca juga: Keindahan Pantai 3 in 1 - Banyu Anjlok, Bolu-Bolu, Keletekan

 

 

Tafsir Gunung Katu Sebagai Tempat Pendharmaan Ken Angrok Sebagai Siwa

Dalam catatan Belanda, Stutterheim menyinggung soal artefak di Gunung Katu. Seperti yang kita ketahui Gunung Katu berada di Dusun Sumberpang Kidul, Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Situs tersebut cukup dekat dengan Dusun Genengan. Pada situs tersebut terdapat artefak yang menunjukkan ciri-ciri Sivaistis (bisa juga ada pengaruh Waisnawa hal ini akan dibahas kemudian, penulis). Di situs tersebut terdapat arca lembu yang telah hilang kepalanya.

Selain itu, terdapat batu berlubang-lubang yang masyarkat sebut dengan nama Watu Dakon. Bahkan dahulu di tempat tersebut pernah ditemukan Arca Ganesha (Sunyoto, 2000:72-73).   

Gunung Katu 
Gambar 01:  Suasana Gunung (Bukit) Katu di Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
[Sumber Gambar: Irman (09 Oktober 2016)]

Situs Gunung Katu berada di sebelah barat Gunung Kawi. Pada masa lalu, gunung ini diyakini sebagai gunung suci karena merupakan anak Gunung Kawi yang merupakan rompalan Gunung Himalaya (Meru). Gunung ini sebenarnya adalah sebuah bukit, tapi karena penampakannya terlihat menjulang tinggi jika dilihat dari bawah maka banyak yang menyebut sebagai gunung (Wicaksono, 2014:27-28).

Gunung Katu merupakan gunung yang juga disebut dalam Pararaton dengan nama “Rabut Katu”. Rabut Katu adalah tempat persembunyian Ken Angrok setelah merampok seorang penangkap burung. Ketika sampai di Rabut Katu, Ken Angrok melihat pohon katu sebesar pohon beringin. Di situlah dia pergi bersembunyi (Hardjowardjojo, 1965:18).

Kata “rabut” berarti tempat suci atau suatu subjek pemujaan dengan mengandung kekuatan (magis) yang luar biasa (Zoetmulder, 2011:897), sedangkan nama “katu/katuk” (Sauropus Androgynus) adalah sebuah tanaman yang banyak tumbuh di bukit tersebut sehingga masyarakat setempat menyebutnya dengan nama “Gunung Katu”.

Dari hal ini maka dapat disimpulkan sebelumnya bahwa sebelum Ken Angrok datang, di tempat tersebut sudah terdapat sebuah parahyangan atau percandian. Barangkali dapat dikorelasikan bahwa mengapa tempat pen-dharma-an Ken Angrok dipilihkan di Kagenengan. Ini karena tempat tersebut sebelumnya memang sudah menjadi tempat yang disucikan (Suwardono, 2013:249-250).

Temuan artefak kepurbakalaan di situs Gunung Katu yang bernafaskan Sivaistis cukup mendukung pendapat tersebut. Di awal telah disinggung tentang temuan arca lembu di situs Gunung Katu. Lembu tersebut adalah Arca Nandhi yang merupakan wahana Dewa Siwa. Arca Nandhi tersebut ditempatkan di atas singgasana berbentuk padmasana (Wicaksono, 2014:28). Arca Lembu Nandhi yang telah hilang kepalanya ini memiliki  tinggi 43 cm, panjang 80 cm, dan lebar 43 cm dan terbuat dari batu andesit.

Arca ini tidak in situ karena awalnya berada di rumah salah seorang penduduk di Dukuh Sumberpang Kidul yang menyelamatkannya dari longsoran Gunung Katu di bagian barat laut pada tahun 1999. Baru kemudian sekitar tahun 2010 arca tersebut diangkat kembali ke atas bukit dan dijadikan satu dengan fragmen yang lain. Arca tersebut oleh kelompok kepercayaan tertentu dijadikan semacam petilasan oleh masyarakat pendukungnya (Suwardono, 2013:247-248).                        

Kemudian, terdapat sebuah fragmen batu candi yang menurut bentuknya diduga pecahan dari pedestal sebuah arca dengan ukuran panjang 110 cm, lebar 82 cm, dan tebal 24 cm. Fragmen ini oleh penduduk setempat dinamakan "Kaca Benggala" karena bentuknya yang seperti bingkai cermin. Di sana juga terdapat tiga buah umpak batu berbentuk segi empat dengan bagian atas mengecil. Masing-masing berukuran tinggi 28 cm, lebar bawah 27 cm, dan lebar permukaan 21 cm. Selain itu, ada sebuah batu persegi yang permukaannya berlubang sembilan mirip kotak peripih, tetapi besar dengan ukuran panjang 94 cm, lebar 84 cm, dan tebal 24 cm—mungkin sama dengan batu dakon dalam tradisi megalitikum (Suwardono, 2013:246-247).

Sementara itu, Dwi Cahyono mengidentifikasikan batu dakon tersebut sebagai pedistal arca karena bagian bawahnya tidak rata. Gunanya ialah untuk menancapkan arca pada lubang-lubang artefak tersebut. Dengan fungsi untuk memberikan unsur duniawi yang di atasnya berdiri kekuatan spiritual, sehingga ketika dipuja maka akan terdapat kehidupan (Wicaksono, 2014:28).

Lantas arca siapakah yang berada diatas pedestal tersebut? Hal ini akan dibahas nanti.

Menurut Suwardono (2013:247) di sekitar Gunung Katu pernah didapati arca kepala naga (mungkin bentuk dan fungsi hiasan kepala naga ini sejenis dengan hiasan kepala naga pada jorokan pipi tangga masuk Candi Kidal), dan sebuah tugu pal setinggi sekitar 70 cm dengan bentuk bagian bawah persegi dan bagian bawah silindris (mungkin yang dimaksud sebuah lingga). Sayangnya, arca kepala naga tersebut menurut keterangan penduduk dibawa orang ke Malang, sedangkan tugu pal-nya telah lama hilang (Suwardono, 2013:247).

Kaca Benggala dan Artefak Lainnya 
Gambar 02: Kumpulan Artefak di Puncak Gunung (Bukit) Katu; Kiri: ‘Kaca Benggala’; Depan: Batu Dakon/Pedestal; Belakang: Lembu Nandi.
[Sumber Gambar: Agung (09 Oktober 2016)]

Baca juga: Candi Minak Jinggo, Trowulan, Mojokerto

 

Menilik tinggalan arkeologis di Gunung Katu dan naskah Pararaton dapat diduga bahwa di sana dahulu terdapat sebuah percandian yang telah runtuh akibat longsor dan vandalisme. Lantas siapakah yang dicandikan di sana?

Tradisi setempat sendiri menyebutkan dan mempercayai bahwa Ken Angrok (Ranggah Rajasa) “dimakamkan” di puncak Gunung Katu (Sidomulyo, 2007:79-80). Jika benar Gunung Katu adalah sebagai tempat pen-dharma-an Ken Angrok, maka di sana Ken Angrok di-dharma-kan sebagai apa? Sebagai Siwa atau sebagai Buddha? Karena menurut Negarakretagama Ken Angrok (Sri Rajasa) di-dharma-kan sebagai Siwa di Kagenengan dan sebagai Buddha di Usana.

Dilihat dari tinggalan arkeologis yang ada di Gunung Katu jelas daerah tersebut menampilkan ciri-ciri Sivaistis (hal ini karena pernah didapati tinggalan arkeologis berupa Arca Lembu Nandhi dan Lingga). Bisa jadi di Gunung Katu tersebut Ken Angrok di-dharma-kan sebagai “Siwa”.

Lantas di mana arca pen-dharma-an Ken Angrok tersebut yang harusnya ada di atas pedestal/ batu dakon, jika teori ini diterima?                                    

F.M. Schnitger (1932) dan Stutterheim (1939), mencoba memberikan uraian mengenai temuan benda arkeologis yang ditemukan di reruntuhan kompleks Percandian Singosari dan sekarang berada di Musem Leiden.

Arca tersebut ternyata setelah diamati dengan saksama dapat dikatakan Arca Siwa-Wisnu, yang dalam pantheon agama Hindu lebih dikenal sebagai “Harihara” dan jelas dari zaman Singhasari karena ornamennya menampilkan bunga teratai keluar dari bonggolnya. Sementara itu, mahkota arca tersebut berbentuk Lingga-Yoni yang mengintrepretasikan atribut tiga Lingga-Yoni (perlambang tripurusa yang mengandung anasir Brahma, Wisnu, dan Siwa).

Arca Harihara
Gambar 03:  Arca Harihara yang diduga sebagai arca perwujudan Ken Angrok ditemukan di reruntuhan komplek percandian Singosari.

[Sumber Gambar: Stutterheim (1939)]

Pada ragam hias Arca Harihara dan dapat ditafsirkan menggambarkan tentang kisah Ken Angrok itu sendiri dalam Pararaton. Pada awal kelahirannya, Ken Angrok dianggap putra Dewa Brahma. Di masa pertumbuhannya dan beranjak dewasa (madya) dia dianggap titisan Wisnu oleh Brahmana Lohgawe. Kemudian, ketika hendak mengalahkan Dandang Gendhis dari Kadiri, dia ditahbiskan atas restu para brahmana dan pendeta sebagai Batara Guru (Siwa) yang sebelumnya sudah diangkat anak terlebih dahulu oleh Batara Girinatha (Siwa) dalam peristiwa Gunung Lejar (Suwardono, 2013:189-195).

Menariknya, ada informasi dalam Prasasti Mula-Malurung yang mengakatakan bahwa Kakek Wisnuwardhana yaitu Sri Rajasa yang memiliki nama lain “Narasinghanagara” yang di-dharma-kan di Kagenengan (lempeng II.b: 2-3) berwujud sebagai “Wisnu” (Sidomulyo, 2007:157). Jika memang arca di kompleks Candi Singhasari tersebut adalah Arca Sri Rajasa, maka tidak perlu bingung karena berita dalam Pararaton dan Nagarakretagama tidaklah bertentangan karena hakikatnya dalam wujud “Harihara” Siwa dan Wisnu adalah satu kesatuan.

Dengan demikian, jika pendapat tersebut dapat diterima, maka anasir tripurusa telah ada dalam Arca Harihara tersebut sesuai dengan berita dalam Pararaton. Namun terdapat permasalahan; seandainya benar arca tersebut adalah arca Ken Angrok, mengapa bisa berada di Singhasari dan bukan di Kagenengan?

Ada kemungkinan jika arca tersebut oleh masyarakat Kagenengan pada zaman Majapahit atau beberapa masa setelahnya, yang masih menganut Hindu dan menghormati arca tersebut sebagai arca perwujudan pendiri dinasti, arca tersebut diambil dan dingkut ke Singhasari sebagai tempat bekas pusat pemerintahan akibat semakin hari kondisi wilayah Kagenengan (dan Gunung Katu, penulis.) semakin longsor. Arca tersebut sendiri hanya 70,5 cm sehingga tidak terlalu sulit untuk memindahkannya (Suwardono, 2013:196).

Dengan demikian sesuai dengan uraian panjang sebelumnya, dapat ditafsirkan bahwa situs Gunung Katu adalah pen-dharma-an sebagai Siwa. Lalu, di manakah letak pen-dharma-an Ken Angrok sebagai Buddha? Hal itu akan dibahas dalam artikel berikutnya.

Bersambung ke: Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Malang (Bagian 2)




Sumber header: kayuhanku.blogspot.com


Tag :


Kopi Soda

Devan Firmansyah a.k.a Kopi Soda adalah seorang calon ahli sejarah dan guru sejarah, antropologi, dan sosiologi.

Profil Selengkapnya >>

Wisata Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Generasi Global dalam Industri Pertelevisian: Menelisik Makna di Balik


Lalu Abdul Fatah - Profesi, Delusi, dan Identitas Diri


Tentang Gaya Penceritaan Orizuka - Dari Manisnya Cinta Sang Pangeran Hingga Pahitnya Skripsi (II-The End)


Me Sharing A Copy of My Mind


Adele's Hello - Apa Kabar Masa Lalu?


Marugame Udon - Delicacy in Simplicity


Taman Apsari, Keteduhan di Tengah Hiruk Pikuk Kota


Jelajah Pantai Pacitan: Pantai Klayar


Pameran Lukisan


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Enam)


Tiga Puluh Tahunan (Part 1)


Rajukan Sendu