Pandu Pustaka: Perpustakaan Keteladanan Di Pekalongan

02 Jul 2016    View : 4030    By : Mia Kamila


Ada sebuah perpustakaan "tradisional" di Kota Batik, Pekalongan. Namanya "Pandu Pustaka" karena pemiliknya bernama Eyang Pandoe Sugianto.

Berawal dari ajakan seorang kawan yang mengatakan bahwa perpustakaan itu jarang dikunjungi, saya pun tertarik ke sana. Ternyata, perjalanan saya ke Pekalongan ini berbuah inspirasi. Memang bukan perjalanan wisata mata dan fisik seperti perjalanan-perjalanan saya sebelumnya, melainkan wisata untuk menambah kekayaan hati dan wawasan tentang sejarah Pekalongan.

Adalah Pandoe Sugiyanto, seorang kakek berusia 78 tahun yang menjadi figur utama dalam perjalanan saya kali ini. Layaknya seorang kakek pada umumnya, dengan semangat Eyang Pandoe bercerita tentang masa lalu. Tapi, cerita masa lalu Eyang Pandoe bukan hanya sebuah memori nostalgia tanpa makna. Ada kisah tentang sejarah Pekalongan serta budi pekerti untuk memahami arti pengabdian, ketulusan, dan kejujuran.

pandu_pustakaEyang Pandoe

Baca juga: Pantai Sedahan: Sebuah Keindahan Tersembunyi



Rumah Baca Eyang Pandu

Suasana malam yang cerah dengan beribu bintang di langit. Saya dan ketiga teman saya: Aryo, Nela, dan Amga, berkujung ke sebuah rumah 'mewah' yang penuh dengan inspirasi. Letak rumah tersebut di sebuah perkampungan padat penduduk di Kelurahan Poncol RW 5, Kota Pekalongan. Jika kita tempuh dari alun-alun Kota Pekalongan hanya berjarak 1,2 km saja.

Di sisi bangunan depan, terdapat sebuah ruangan berukuran 2 x 3 m beratap asbes yang di dalamnya penuh dengan buku-buku. Buku-buku tersebut tertata dengan sangat rapi; sejajar dan berkelompok sesuai genrenya. Novel, komik, tabloid, buku sejarah, dan masih banyak yang lainnya. Dari yang lama sampai dengan yang baru, Eyang Pandoe punya koleksinya. Penataan buku-buku itu pun memang sengaja dilakukan agar orang mudah mencari buku yang mereka inginkan.

Rumah apa ini? Inilah Rumah Baca Eyang Pandoe atau Pandu Pustaka.

pandu_pustaka
Harapan Eyang membuat perpustakaan ini adalah untuk berbagi ilmu; agar para generasi penerus bangsa bisa meminjam, membaca, dan menikmati buku-buku yang ada di dalam Pandu Pustaka. Saya tertarik dengan pola pikir Eyang Pandoe sehingga saya berusaha banyak berinteraksi dengan beliau.

 

 

Perpustakaan Kejujuran

Kami juga melihat papan bertuliskan “Perpustakaan Kejujuran”. Yang ada di benak saya saat itu adalah sebuah kesan bahwa kejujuran patut dibayar mahal. Lagi-lagi, ada norma kehidupan yang diperkenalkan oleh Eyang Pandu pada anak-anak muda.

pandu_pustaka
Sayangnya, tujuan mulia itu tak sepenuhnya tercapai. Masih banyak sekali pengunjung perpustakaan Eyang yang tidak memiliki rasa malu dengan bertindak tidak jujur. Tak jarang buku koleksi Eyang hilang lantaran dipinjam dan tidak dikembalikan walaupun Eyang sudah menghubungi dan mendatangi alamat peminjam.
 
Eyang Pandu juga punya sifat humoris yang membuat kami merasa dekat dan nyaman mendengar cerita-cerita masa muda beliau. Tak jarang pula beliau bercerita tentang Kota Pekalongan tempo dulu dan menggambarkan tempat-tempat bersejarah pada zaman kolonial Belanda. Wawasannya begitu luas dan daya ingatnya masih sangat tajam, sulit dipercaya mengingat usianya yang tak lagi muda. Tak hanya itu, di perpustakaan kecil ini, Artebianz juga bisa melihat koleksi uang kuno milik Eyang, lho! Perpus iya, museum kecil iya. Menarik sekali tempat ini.

Baca juga: Dari Hati Ke Hati: Sepiring Kupang Dan Ketangguhan Dalam Menjalani Kehidupan

 

 

Keliling Desa Untuk Berbagi Ilmu

“Eyang, kalau nggak ada yang mampir ke sini buat pinjem buku-buku ini bagaimana?” tanya saya.

“Ya, saya akan keliling kampung buat menjajakan buku-buku ini. Biar ada yang pinjam. Lha wong disuruh baca aja kok, nggak bayar! Hahaha,” jawab Eyang Pandoe sambil terkekeh.

ilustrasi

Kami tertegun mendengarnya. Mendengarkan peryataan jika beliau meminjamkan buku tanpa mengharap imbalan dari sang peminjam. Mulia sekali hatinya yang ingin kembali menghidupkan budaya membaca. Rasa haru, kagum, dan salut yang saya rasakan ketika mendengar sebuah semangat seorang kakek berusia senja yang masih ingin mendayagunakan sisa hidupnya untuk masyarakat sekitar.

Eyang Pandoe sangat yakin bahwa kecintaannya pada membaca dan buku wajib ia tularkan pada orang lain, khususnya generasi muda. Tetapi, sepanjang perjalanannya, tak mudah untuk meyakinkan seseorang untuk mengikuti jejaknya. Sikap skeptis, pemikiran orang yang bagai katak dalam tempurung, atau ketidaksadaran membuat Eyang sulit mendapat "umat".

Meski begitu, Eyang tak menyerah. Beliau tidak mau sekadar menimbun buku hanya untuk dirinya sendiri. Buku baginya layaknya jendela dunia, sangat sayang jika orang lain tak melihatnya hanya karena ketidaktahuan. Sedikit memaksa memang, dan Eyang menyadarinya. Dari sinilah Perpustakaan Kejujuran dibangun.

ilustrasi

“Meskipun niat saya baik, tapi tak jarang juga yang menganggap saya ini kurang kerjaan. Muter-muter bawa buku dan maksa orang baca buku saya. Haha! Iya, begitu,” ungkap Eyang Pandoe yang tak pernah ketinggalan dengan ciri khasnya: terkekeh setelah mengakhiri kalimatnya. Di samping itu, membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas sekolah mereka pun ia lakoni.

Baca juga: H.O.S Tjokroaminoto: Priyayi dengan Profesi Teknisi Sekaligus Politisi yang Berjiwa Pendidik

 

Jadi, Mengapa ke "Pandu Pustaka" ?

Pertama, karena koleksi bukunya. Berkunjung ke Pandu Pustaka bisa menjadi alternatif bagus untuk Artebianz yang sedang mencari buku-buku lama atau buku baru yang mungkin sudah sulit ditemukan.

Sulit menyebutkan judul buku apa saja saking banyaknya, tetapi memang didominasi oleh buku sejarah, novel, dan buku pedagogig (buku anak-anak). Mahasiswa ilmu sosial atau sastra yang butuh referensi buku untuk mengerjakan tugas akhir atau skripsi, mungkin akan cocok sekali kemari. Tapi ingat ya, setelah pinjam, harus dikembalikan, lho!

Kedua, selain buku, masih ada narasumber hidup yang siap diajak ngobrol atau wawancara. Siapa? Tentu saja Eyang Pandoe. Eyang senang sekali bercerita tentang sejarah Pekalongan. Semoga Eyang Pandoe diberi kesehatan selalu ya agar bisa membimbing yang kita yang membutuhkan.

pandu_pustaka
Demikian, Artebianz! Perjalanan saya kali ini memang bukan wisata dan pelesir seperti biasanya. Akan tetapi, sebuah perjalanan yang sarat makna. Semoga apa yang diperjuangkan oleh Eyang Pandoe bisa menjadi inspirasi dan teladan untuk kita semua.

Ayo membaca!


Tag :


Mia Kamila

Mia Kamila adalah seorang blogger yang suka jalan-jalan. Dia selalu mencatat setiap perjalanannya berikut maknanya melalui sebuah untaian kata-kata.

Profil Selengkapnya >>

Nongkrong Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Filosofi Pohon Pisang Pada Hubungan Ayah Dan Anak


Layaknya Desserts - The Chronicles of Audy O2 Menjadi Penutup Yang Manis


Pantai Pelang


Orange Marmalade: Saat Cinta Tidak Memandang Dunia (2015)


Edwin Ruser dan KoreanUpdates - Menghidupkan Mimpi Lewat Passion


Goyang Kaki Dan Goyang Lidah Di Lontong Kikil Bu Dahlia


Lembah Rolak


Your Dream (Not?) Comes True


Kataji - Awal Mula Saya Terpikat pada Yura


Literasi Oktober: Goodreads Surabaya, Mahfud Ikhwan, dan Kambing


Satu Kali Seminggu


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Pertama)