Critical Eleven - Pesawat, Bandara, dan Biduk Rumah Tangga

15 Sep 2015    View : 15132    By : Niratisaya


Ditulis oleh Ika Natassa
Diterbitkan oleh Gramedia
Disunting oleh Rosi L. Simamora
Desain dan ilustrasi sampul oleh Ika Natassa
Diterbitkan pada Agustus 2015
Genre fiksi, adult, romance, slice of life, drama, family
Jumlah halaman 344
Nomor ISBN 978-602-0318-92-9
Harga IDR79.000,00
Koleksi Perpustakaan Pribadi


Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.


Mungkin, dalam sejarah penerbitan novel Indonesia hanya ada beberapa penulis yang dengan rajinnya membuat penggemar sekaligus pembaca setianya kocar-kacir. Salah satunya, dan yang paling gress, adalah Ika Natassa dan karya ketujuhnya: Critical Eleven. Konon, hanya dalam 11 menit 1.111 buku pre order habis terjual!

Dan, sadisnya, Critical Eleven kembali laris dalam hitungan menit ketika Natassa dan Gramedia menjual karyanya demi merayakan Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-70.

Koleksi N

Dahsyat yak, Artebianz!

Tapi… apa sebenarnya yang bikin dahsyat dari Critical Eleven?

Marketingnya yang gencarkah?

Faktor nama besar penerbitkah?

Atau hoki si penulis?

Inilah yang bakal kita bahas di artikel kali ini, Artebianz!

Baca juga: The Wind Leading to Love


Critical Eleven et L'histoire

Cerita kehidupan Aldebaran "Ale" Risjad dan Tanya "Anya" Laetitia Baskoro ini dimulai dari terdamparnya Anya di sebuah bandara bersama pikirannya yang mulai melanglang buana, mempertanyakan arti kehidupannya yang kemungkinan besar nggak akan memiliki tujuan, seandainya dia nggak punya boarding pass dan nggak harus terbang.

... aku merasa hidupku akhirnya punya tujuan, walaupun tujuannya hanya berupa tiga huruf. CGK, SIN, ORD, TTE, HKG, LGA, EWR, NRT. (hal. 6)

Kepercayaan Anya itu membuatnya lega, meski nggak sepenuhnya mengusir kekosongan dalam dirinya. Masih ada sesuatu yang dirindukan Anya.

Dengan pemikiran demikian, Anya pun menaiki pesawat yang akan menuju Sidney. Dan di sanalah dia bertemu dengan Ale, teman seperjalanannya, yang mematahkan kutukan kalau-nggak-duduk-sebelahan-dengan-om-om-pasti-anak-kecil-yang-nangis-melulu Anya. Lelaki itu tengah tertunduk membaca buku dan baru menengadahkan kepalanya dan menatap Anya sewaktu Anya menjelaskan bahwa kursinya ada di sebelah Ale. Selebihnya, Ale kembali bersikap sopan dan diam. Dia nggak bersikap berlebihan atau menggoda Anya.

Yang nggak diketahui Anya, ternyata lelaki yang bekerja sebagai petroleum engineer, atau "tukang minyak" kalo menurut Ale, itu jatuh cinta pada Anya. Sejatuh-jatuhnya. Dia nekat menjalin hubungan dengan Anya tanpa memedulikan jarak antara mereka, atau sempitnya kesempatan yang dia punyai seandainya dia menjalin hubungan—Ale hanya punya 156 hari di Jakarta. Selebihnya? Dia menghabiskannya di kantornya, di pengeboran minyak lepas pantai. Ale bahkan dengan nekatnya menghabiskan tabungannya demi membangun rumah sebulan setelah berpacaran dengan Anya, dengan pemikiran bahwa it would be their home.

criticaleleventhenovel.tumblr.com

Tapi benarkah Ale dan Anya sudah melewati 11 menit masa kritis pada perjumpaan pertama mereka? Sebab, membangun rumah tangga amatlah berbeda dengan momen critical eleven di tiap penerbangan yang mereka tempuh. While life is a journey and people, despite sharing the same (relation)ship, could take different path.

Baca juga: Mengasah Rasa Lewat Kehidupan dan Gelombang Ujian


Critical Eleven et Le Critique

The Critical and Awesome Characters

 1. Ale (Aldebaran Risjad)

Gue suka kopi, ketoprak, kastengels, udara bebas, buku, film, lego, dan kerja.
Hidup gue sesederhana itu (hal. 28).

Tapi kesederhanaanmu membuat semua pembaca novel Critical Eleven klepek-klepek, Le. As always, para lelaki hasil reka imajinasi Natassa selalu indah dibayangkan dan sedap diimpikan. Termasuk anak "Pak Jendral" yang satu ini.

Terlahir sebagai sulung dari lima bersaudara, Ale tak jauh berbeda dari gambaran kebanyakan anak pertama: pendiam, suka galau gampang mikir sekaligus gampang ragu-ragu…. (yak, terus! Sekalian bikin buku The Confession of First Child Laughing).

Tapi taruhlah semua itu di dunia fiksi Natassa. Alih-alih mendapatkan lelaki pasif yang menyebalkan, kamu bakal mendapatkan seorang lelaki yang pas banget dengan slogan salah satu rokok Indonesia—ada yang tahu? Wink

Salah satu hal yang menarik mengenai Ale adalah, meski dia nggak pede sering membandingkan dirinya dengan adiknya, the famous Harris Risjad, yang hidup dan bernapas dengan bebas di Antologi Rasa karya Natassa, Ale justru lebih berani mengambil keputusan. Misalnya saja sewaktu dia melamar Anya.

Seminggu setelah berhasil bertemu lagi dengan Anya, Ale langsung mengajak wanita itu berpacaran. Dan sebulan setelah pacaran, Ale berniat membangun rumah dan menggunakan seluruh tabungannya. Demi bisa segera menghuni rumah itu dengan Anya, lelaki yang diceritakan berusia 33 tahun ini bahkan memberi tenggat satu tahun pada si arsitek. Segitu cinta matinya Ale ke Anya!

Ini yang membuat saya bertanya-tanya sepanjang proses 'melahap' Critical Eleven - apa yang sebenarnya terjadi pada Anya-Ale? Padahal mereka memulai segalanya dengan penuh cinta. Padahal Ale begitu sederhananya.

Aldebaran Risjad punya satu kualitas yang jarang aku temui pada laki-laki lain: dia bisa mengubah situasi secanggung apa pun menjadi sesuatu yang seharusnya memang terjadi dan tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa. Seperti hujan yang sudah sewajarnya membasahi tanah. Atau api yang sudah seharusnya rasanya panas (Anya on Ale, hal. 26).

Selingan:
Saya nggak setuju sepenuhnya pada pendapat Anya. Mbak, api nggak bisa—dan nggak mungkin dicecap lidah—dan panas bukan rasa :p

Atau… mungkin api punya rasa? Mari kita tanya Belda IMB!

dailytrojan.com

2. Anya (Tanya Laetitia Baskoro) alias Onti Nyanya

Aku harus selalu menyibukkan diri dengan sesuatu, karena setiap aku diam, my mind would start to wonder to places I don’t want it to wonder to (hal. 5).

Entah nggak pengin menggubris pikiran-pikiran anehnya yang suka menclok tiap kali Anya melamun, atau pengin membungkam suara-suara orang sekitar tentang keadaannya yang wonderfully busy, but awfully manless and so become aimless (hal. 6), Anya pun mendapatkan posisi di management konsultan. Karena mungkin dengan begitu akan ada banyak hal yang harus diatur dan diawasi dan ada banyak klien—dan permasalahan mereka—yang bisa menyibukkan pikiran Anya.

Bisa jadi, karena itulah Anya menerima Ale. Karena lelaki yang dulu kerap dipanggilnya "Dickhead" sederhana. Anya mungkin ingin menyederhanakan pikiran ruwetnya dengan 'bantuan' Ale. Termasuk rasa sepinya.

Tapi, layaknya interaksi normal antarmanusia, hubungan keduanya tidak selamanya sederhana atau penuh sesak oleh cinta. Pada satu titik, Anya kembali sendiri, terdiam bersama pikirannya yang mengembara. Ternyata, mengalihkan pikiran dari satu masalah nggak berarti kita benar-benar nggak memikirkan masalah itu.

Anya punya kualitas yang tidak semua orang beruntung miliki. Dia dengan gampangnya membuat gue nyaman di dekatnya. Walau gue baru kenal saat itu juga. Gue suka (Ale on Anya, hal. 137).

Selingan:
Tapi yang saya suka dari Anya adalah dia berbeda dari Alexandra, karakter utama dari Divortiare karya kedua Natassa. Atau dari Keara di novel Antologi Rasa. Anya lebih kalem, lebih thoughtful saat akan mengambil sebuah keputusan. Padahal Anya diceritakan lebih muda dari Alex. Tapi imbasnya, saya juga mendapati Anya amat pasif dalam menjalin (atau mungkin menghancurkan) rumah tangganya dengan Ale. Apa dia menganggap dirinya benar-benar senasib dengan kucing Schrödinger?

Apa perbedaan jabatan Anya dan Alex ada pengaruhnya ke karakterisasi masing-masing, yak?

3. Ayah Ale, Bapak Jenderal Rinaldi Risjad

"…. Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu" (hal. 31).

Ini adalah nasihat yang diberikan oleh Pak Jenderal pada Ale ketika dia sedang mengajarkan pada Ale, yang baru berumur 9 tahun ngomong-ngomong, bagaimana membuat kopi yang enak. Meski diceritakan memiliki hubungan buruk, tapi tampaknya Ale sendiri mengagumi ayahnya dan mengambil sikap seperti nasihat ayahnya dalam menghadapi hidup.

4. Ada banyak tokoh lain yang seru:

  1. Dua sahabat Anya: Tara dan Agnes
  2. Mbak Tini yang nyaris seseru si Mbok-nya Alex
  3. Dan, pastinya: Harris Risjad, Lelanang ing Jagat Tulisan Natassa

Baca juga: Sabtu Bersama Bapak

www.dailymail.co.uk


Natassa Story Telling Style

1. See It from my point of view!

Nggak, saya nggak minta Artebianz untuk membaca Critical Eleven dari sudut pandang saya. Yang saya maksud di sini adalah gaya penceritaan Natassa yang menggunakan point of view (POV) orang pertama secara bergantian. Tentu saja, ini bukan kali pertama Natassa menggunakan teknik ini. Wanita berzodiak Capricorn ini sebelumnya sudah menggunakan POV orang pertama di Antologi Rasa.

The thing about first person POV method is it's allowing the reader to get to know the characters so well. Konflik diri mereka, pergulatan batin, sampai pritilan-pritilan kecil yang membuat cerita semakin rumit dan kaya. Inilah tujuan POV orang pertama dari pengamatan saya. Dan, dengan topik yang diangkat Natassa dalam Critical Eleven, harus saya katakan; penggunaan teknik ini sudah tepat.

POV orang pertama pada Critical Eleven bukan hanya membuat pembaca mengintip kenangan pasangan Ale-Anya dari perspektif masing-masing, tapi juga mengintip apa yang ada di pikiran mereka dan secara natural melihat bagaimana mereka saling bereaksi.

Misalnya, saja sewaktu Tanya merenungkan soal bandara dan terbang di kutipan yang satu ini:

Aku suka bandara tapi aku benci terbang. Bukan masalah terbangnya, tapi masalah menyerahkan nasib di tangan orang lain selama berada di dalam pesawat dan tidak bisa ke mana-mana (hal. 7).

Dari kutipan itu seakan terlihat bahwa Anya adalah bukan tipe wanita yang mudah memercayakan sesuatu—sesuatu yang penting dan berkaitan dengan control hidup/kehidupan—pada orang lain. Tapi pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya: Anya menyerahkan permasalahan rumah tangganya pada Ale dan melarikan diri, menolak membicarakan masalah, dan menganggapnya sebagai "the best that I can do about us, now" (hal. 83).

Padahal sudah lima tahun. "Now" itu konteksnya lumayan luas ya, Mbak Anya. Bisa jadi apa yang dilakukan Anya ada kaitannya dengan analogi kucing yang diungkapkan pada halaman 7: Menjadi penumpang pesawat itu sebenarnya sama dengan menjadi kucing Schrödinger yang pasrah di dalam kotak berisi kapsul sianida.

Anya menganggap dirinya kucing Schrödinger garis miring penumpang pesawat, sedangkan Ale adalah si peneliti garis miring pilot. Menurut saya pribadi, sikap Anya yang pasif-agresif ini adalah salah satu upayanya untuk: 1) melarikan diri dari kenyataan tentang rumah tangganya dan permasalahan mendasar yang menimpa dia dan Ale; dan 2) cara Anya untuk meyakinkan diri bahwa dia masih memegang kontrol dalam kehidupan pribadinya.

Tapi, bisa jadi juga ini adalah bagaimana Anya mengenang kehilangannya—which I won’t share with you what it was, Artebianz. Serius, baca sendiri deh!

Selingan:
Semula saya mengira bagian pertama novel ini akan menjadi awal kisah perjumpaan Ale-Anya. Well, memang bagian ini jadi permulaan pertemuan salah satu pasangan legendaris di dunia perfiksian Natassa, tapi tidak seperti yang saya bayangkan sesaat setelah menyelesaikan versi cerpennya di antologi Autumn Once More.

www.huffingtonpost.com

Bagian lain yang saya suka dari novel ini adalah ketika Ale Risjad si Mr. Simple mengungkapkan pemikirannya tentang makna romantis yang seharusnya:

"Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harusnya kuat hidup untuk dia. Rela mati sih gampang, dan bego…." (hal. 324).

And that quotation Artebianz, my friends, is summing Ale's attempt to salvage his marriage with Anya.

Selingan:
Somehow… kata-kata Bang Ale ini mirip dengan kutipan salah seorang tokoh di Spicy Love ;p

Baca juga: Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Akhir Kata untuk Critical Eleven

Complicated. Layered. And as bluest as any dang good mellow yet heart-warming novel can be.

Itulah alasan kenapa saya mengagumi Critical Eleven setengah mati, termasuk Ika Natassa tentunya. Sebagai novel, Critical Eleven menyajikan gambaran yang cukup kompleks ketimbang novel-novel Natassa sebelumnya. Dari permainan alur, karakterisasi tokoh, sampai diksi yang disajikan Natassa, semuanya MAKNYUSSS dan bikin hati NYESSS BANGET!

Sementara itu, menyoal fenomena Critical Eleven, rasanya ini nggak bisa lepas dari sosok Natassa sendiri.

Sebagai penulis, Natassa mengerti banget bagaimana mengkomersialisasikan diri dan profesinya sebagai penulis lewat interaksi personal dan hangat di akun-akun media sosial yang dimilikinya—cara marketing yang terampuh saat ini. Dan bukan sekadar memasarkan diri, tapi dia juga mampu bersikap jujur. Coba lihat bagaimana si kakak ngetweet tiap hari. In my humble opinion, Natassa's got zing within her yang nggak hanya membuat sosok blakblakannya unik, tapi juga karya yang ditulisnya beda dari yang lain.

Tapi, balik lagi ke Critical Eleven, rasanya tema yang diangkat oleh Natassa di sini (dan di novel-novel sebelumnya) adalah tema "Love is never enough". Kita bisa aja jatuh cinta lalu tergila-gila pada seseorang karena semua kelebihannya yang membuat kita silau dan terkagum-kagum, sampai kepincut menikahinya. Tapi setelah itu? Apa kita masih bisa terus mengandalkan cinta? Sementara hidup ini modalnya bukan satu itu aja.

 

 

 

Happy reading, Artebianz.

From your book curator,

N.

 



Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Om Telolet Om, Memanfaatkan Isu Viral Untuk Kemaslahatan Umum


Widyoseno Estitoyo: Pebisnis Muda, Aktivis Sosial, Dan Pekerja Seni


Vampire Flower 1


Cheese In The Trap - Jebakan Si Keju Untuk Sang Tikus


Adele's Hello - Apa Kabar Masa Lalu?


Happy Squid Dan MatchaPekoe: Kuliner Unik Ala Bazar Tematik


Latarombo Riverside Cafe - Menikmati Vietnam Drip dengan Suasana Asyik


Patirthan Candi Kidal Yang Tersembunyi


WTF Market Kembali All Out Untuk Surabaya


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Tujuh)


Your Dream (Not?) Comes True


Jingga Senja Sewarna Darah