Supernova 3: Petir

17 Jan 2015    View : 9210    By : Amidah Budi Utami


Ditulis oleh  Dee Lestari
Diterbitkan oleh  Bentang Pustaka
Disunting oleh  Dhewiberta
Aksara ditata oleh  Martin Buczer, Wirastuti dan Anisa Meilasyari
Aksara diperiksa oleh  Intan, Pritameani dan Lia
Sampul didesain oleh  Fahmi Ilmansyah
Simbol sampul oleh  Antah Karana
Genre fiksi, sains, filsafat, adult, romance, kontemporer
Jumlah halaman  314
Nomor ISBN  978-602-291-054-1
Rating: 5/5


Dua tahun setelah roman mereka rampung, Dimas dan Reuben mengalami stagnasi. Hingga suatu hari mereka mendapat surat elektronik dari seseorang bernama Gio. Kata "Supernova" yang disebut Gio dalam surat itu menjadi tanda tanya baru sekaligus awal pengetahuan Dimas dan Reuben tentang jaringan yang selama ini melibatkan mereka tanpa disadari.

Sementara itu, di Kota Bandung, seorang gadis sebatang kara bernama Elektra berusaha menyambung hidup. Berawal dari pertemuannya dengan seorang yogini bernama Ibu Sati dan seorang entrepreneur muda urakan bernama Toni alias Mpret, hidup Elektra mulai terakselerasi. Dari anak kuper yang tidak punya motivasi, Elektra bertransformasi menjadi seorang pengusaha, dan akhirnya seorang penyembuh.

Setelah nyaman dalam lingkungannya yang baru, hidup Elektra kembali siap diguncang ketika Bong memintanya untuk menolong seseorang yang tak ia kenal bernama Bodhi.

 

Jika ditanya siapa penulis Indonesia Idola saya, tanpa ragu saya akan menyebut satu nama Dewi Lestari atau juga dikenal dengan nama Dee Lestari. Perjalanan saya menjelajahi karya-karya Dewi Lestari dimulai dari Rectoverso, Filosofi Kopi, Madre, Supernova 2: Akar, Supernova 1: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (KPBJ), Supernova 3: Petir, dan terakhir Supernova 4: Partikel. Saya hanya menyisakan Gelombang sebagai satu-satunya karya Dewi Lestari yang sudah diterbitkan, tapi belum sempat saya baca.

Dari sekian banyak karya Dewi Lestari yang pernah saya baca, Supernova 3: Petir adalah salah satu paling bersinar, mampu membuat saya jatuh cinta dengan cara berbeda. Saya menyukai kesederhanaan alur cerita, kesederhanaan tokohnya, serta kesederhanaan hubungan antar tokohnya.

Satu informasi penting untuk diketahui, Supernova 3: Petir adalah karya Dewi Lestari terkocak. Pepatah bilang selera humor seseorang tergantung pada tingkat kecerdasannya. Dewi Lestari  sangat tahu bagaimana mengolah humor yang cerdas.

 

Sinopsis Supernova 3: Petir

Di bagian awal novel Supernova 3: Petir menampilkan kisah Reuben dan Dimas yang merupakan lanjutan dari Supernova 1: KPBJ. Bagi Artebianz yang belum membaca Supernova 1: KPBJ mungkin akan sedikit bingung dengan kemunculan dua tokoh ini secara tiba-tiba. Namun Artebianz tidak perlu khawatir karena kisah Reuben-Dimas ini hanya intermezzo. Cerita utama dari Supernova 3: Petir ini adalah kisah tentang seorang gadis keturunan Tionghoa bernama Elektra. Kisahnya akan memenuhi 96% isi novel Supernova 3: Petir.

Dari kecil sampai dewasa Elektra hidup bersama ayahnya (biasa dipanggil Dedi) dan kakak perempuan bernama Watti, ibunya sudah lama meninggal sejak Elektra masih kecil. Kenyataan Dedi sedikit bicara sedangkan Watti bertingkah layaknya drama queen membuat Eletra kecil sampai remaja menikmati hidup sebagai penonton. Elektra tidak perlu melakukan apa-apa, cukup dengan duduk manis di pojokan menontoni perilaku Dedi serta Watti. Tidak seorang pun ingin mengusiknya. Tidak sekali pun Elektra ingin berganti peran dari seorang penonton menjadi seorang pemain.

Sampai suatu ketika takdir mengusik kenyamanannya.

Dedi meninggal karena serangan jantung, berselang dua minggu kemudian Watti menikah selanjutnya diboyong suaminya ke luar pulau. Tidak ada tontonan lagi! Saat ini hanya tersisa Elektra: sarjana pengangguran total sedang menjalani hidup sendirian di sebuah rumah besar bersama kenangan tentang Dedi serta Watti.

Kondisi tersebut sempat membuatnya frustasi dan membuat Elektra mau melakukan hal-hal di luar akal. Sampai pada kejadian demi kejadian tanpa sengaja mempertemukan Elektra dengan orang-orang yang membantunya bermetamorfosis menjadi Elektra baru.

Pertemuannya dengan Ibu Sati menyadarkannya bahwa dia mempunyai potensi terpendam. Elektra adalah manusia spesial yang bisa mengeluarkan aliran listrik dari tubuhnya. Memang sejak kecil Elektra mempuyai hobi aneh, dia suka melihat petir. Sepertinya hobi aneh ini memiliki korelasi dengan kemampuan aneh milikinya. Melalui bimbingan dari Ibu sati, Elektra bisa memanfaatkan kemampuan tersebut untuk membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dia sama kerennya seperti Spiderman, Ironman, dan sebagainya.

supernova 3 : petir

 

Pertemuannya dengan Kewoy alias Maman, Mpret alias Toni, Miun serta kawan-kawan yang dimotori oleh sebuah kerja sama mendirikan warnet bernama ELEKTRA POP, membuat Elektra menemukan keluarga baru non biologis. Kali ini bukan seorang pendiam dan seorang drama queen, Elektra menemukan orang-orang yang mirip dengannya.

Seorang Elektra dulunya tidak mempunyai kegiatan apa pun selain tidur siang, beresin rumah dan melamun menjadi seorang Elektra super sibuk dengan warnet dan klinik elektriknya. Seorang Elektra dulunya tidak pernah menjalin ikatan dengan siapa pun kecuali Dedi dan Watti menjadi Elektra yang memiliki ikatan persaudaraan dengan banyak orang. Seorang Elektra dulunya kuper menjadi Elektra gaul. Seorang Elektra dulunya tidak eksis menjadi Elektra yang eksis.

Namun, dari kacamata saya tidak ada perubahan dari seorang Elektra. Dia masih manusia yang sama, hidup dengan pikirannya sendiri, menjadi pengamat lingkungannya, memberi reaksi seadanya terhadap apa pun yang terjadi, sederhana dan apa adanya. Elektra tidak pernah berubah, yang berubah adalah lingkungannya dan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Kejadian-kejadian tersebut seolah-olah membuat Elektra berubah lebih bersinar.

Kalau boleh saya membuat analogi, tokoh Elektra ini seperti batu permata. Sebuah batu permata tetaplah batu permata, tidak peduli itu berada di dasar sungai, di puncak gunung atau sedang dipamerkan di etalase toko perhiasan. Perberdaannya terletak pada penilaian manusia terhadap batu permata itu.  

Baca juga: The Wind Leading To Love

 

Hubungan Antar Penghuni Elektra Pop: Akrab, Hangat, Dekat

Menurut saya bagian yang paling mengesankan dari Supernova 3: Petir ini ada di bagian tengah sampai akhir cerita, yaitu dimulai dari berdirinya Elektra Pop. Saya sangat menikmati obrolan-obrolan ringan kadang penting dan kadang tidak penting antara Elektra, Kewoy, Miun, kadang-kadang juga disertai Mas Yono. Mereka tahu persis bagaimana cara menghangatkan suasana agar mereka tidak pernah bosan bertemu dengan wajah-wajah sama setiap harinya. Sesekali saya ingin masuk ke dalam ruang dan waktu dimana mereka berada, mengikuti obrolan ringan mereka yang sering berbuah tawa.

Artebianz penasaran obrolan para penghuni ELEKTRA POP? Berikut cuplikannya:

Setting pertama, di dalam kamar, Elektra, Kewoy, dan Miun ramai-ramai meniupi balon untuk persiapan pesta ulang tahun Mpret sambil ngobrolin garis miring ngegosipin makhluk yang berulang tahun.

"Kenapa nggak punya pacar, ya?"
"Mana sempatlah? Profesi utama Mpret sebenarnya kan bukan berbisnis, tapi bergaul. Gua nggak kebayang gimana si Mpret bisa pacaran. Kapan ketemunya, coba? Harus bikin appointment dari seminggu sebelum, kali."
"Ente pasti tahu nama panjangnya, dong," tantang Kewoy.
"Francesco Toni Prayitno Bertolozzi."
"Hua-ha-ha! Bo'ong banget!" aku dan Kewoy terpingkal-pingkal.
Miun langsung mencak-mencak melihat reaksi kami berdua. "Monyet! Gua Serius!..."
(halaman 280)

Seting kedua, di sebuah ruangan di ELEKTRA POP, Elektra, Kewoy dan Miun masih ngobrolin garis miring ngegosipin orang yang sama: Mpret yang ternyata masih keturunan Itali.

"Woy, nggak semua orang Itali itu pemain bola, tukang bikin sepatu, atau mafia. Nggak semua orang Indonesia itu jago bulu tangkis, teroris, atau TKI".
"Nggak semua orang China itu pedagang, tukang obat, atau atlet bulu tangkis."
"Bulu tangkis sudah."
"Sipit!"
"boleh."
(halaman 304)

bersahabatan anatara elektra keway dan miun


Selain percakapan antara Elektra-Kewoy-Miun, saya juga menyukai percakapan Mpret-Bong (sepupu Mpret) di halaman 307 serta percakapan Elektra-Bong di halaman 309. Percakapan ala orang pinggiran yang minim sopan-santun serta cenderung ceplas-ceplos namun tidak pernah bermaksud menyindir atau menghina. Tulus, ringan, dan sering membuahkan tawa lepas.

Baca juga: Single Ville - Potret Kehidupan Para Lajang

 

Tokoh Spesial yang Hadir: Mpret dan Cinta Platoniknya

Banyak wanita mengidamkan pria sempurna untuk menjadi pasangan hidupnya agar bisa bahagia selama-lamanya. Definisi pria sempurna menurut saya pribadi serta pandangan orang pada umumnya adalah seorang pria pintar, ganteng, pekerja keras, baik serta perhatian. Berdasarkan hasil obrolan dengan seorang teman, pria dengan kriteria tersebut sangat jarang, hanya ada 1 dari 1000 pria alias makhluk langka.

Namun tahukah Artebianz, ada satu tipe pria lebih menarik dan lebih langka dari seorang pria sempurna (minimal dari sudut pandang saya), yaitu pria sejenis Mpret. Cowok pintar cenderung genius, lincah, urakan, punya banyak teman, cuek overdosis, tetep cakep walau jarang mandi karena sudah cakep dari lahir, bangga dengan nama anehnya, punya segalanya namun tampil sederhana.

Pria tipe seperti ini sanggup membuat saya meleleh bahkan bisa lebih parah dari sekedar meleleh yaitu menyublim dengan cepat. Perkiraan saya pria sejenis Mpret ini hanya ada 1 dari 10.000 pria (lebih langka dari pria sempurna).

Dalam novel Supernova 3: Petir diceritakan Mpret menyimpan cinta platoniknya terhadap Elektra. Definisi dari cinta platonik adalah sebuah perasaan bebas dari kemelekatan keinginan memiliki, tak ada pretensi serta tak menyimpan harapan mengembangkan hubungan lebih dari sekedar persahabatan luar biasa yang sangat tulus. Cinta platonik tidak pernah diungkapkan dengan rayuan gombal, namun ditunjukkan dengan perhatian sesuai.

Hubungan Elektra-Mpret tidak berkembang ke mana-mana. Hubungan mereka masih sama seperti dulu, rekan bisnis, teman begadang, dan keluarga nonbiologis layaknya hubungan Elektra dengan Kewoy, Miun, serta Mas Yono. Berdasarkan karakter uniknya, saya tidak heran jika Mpret memilih untuk mencintai dengan cara sesederhana ini.

cinta platonik

 Baca juga: The Chronicles of Audy: 4/4

 

Analogi-Analogi yang Digunakan Oleh Seorang Dewi Lestari Sebagai Alat Bercerita.

Pernahkah Artebianz merasa geregetan? Mungkin saat mendengar celotehan anak kecil yang terlalu polos tapi mengena? Mungkin saat melihat seorang adik bengal tiba-tiba menjadi juara umum di sekolahnya? Perasaan senang, kesal, gemas bercampur menjadi satu. Saya pernah merasakan saat-saat seperti itu. Saya merasa geregetan ketika menyukai bagian-bagian analogi di novel Supernova 3: Petir kemudian berpikir kok bisa sekeren ini sih?

Mereka itu anak besar di luar, begitu keluarga keduanya berdalih. Mpret memberontak dengan menjadi belut yang lepas setiap mau ditangkap, sementara bong bersikap seperti landak yang diam  di tempat, tetapi menusuk begitu disentuh. Tak ada yang bisa memahami keduanya. Namun, mereka memahami satu sama lain. Cuma Bong yang bisa dengan gesit menangkap Mpret saat ia menggeliat lepas dari genggaman siapa pun, dan cuma Mpret yang bisa menahan reaksi tusukan Bong saat  semua terluka menyentuhnya.

Pertengahan SMA, Bong resmi menjadi buronan keluarga. Jauh lebih dulu dari Mpret. Lebih sepuluh kali keluarga Bong memasang iklan anak hilang di koran tanpa mau terima bahwa yang dicari memang memilih hilang dan hidup bergerilya di belantara kota.

Mpret satu-satunya yang menanggapi minggatnya Bong dengan kepala dingin. Tidak semua anak didesain menjadi balon biasa yang manut pada gravitasi bumi, ada yang memang berisi helium dari sananya, dan itulah Bong. Biarkan ia terbang karena tak ada yang bisa menahan kepergian balon gas, bahkan awanpun ditempus bila perlu, dan kalau ia kempes nanti, tak perlu merisaukan ke mana ia mendarat karena itu tidak lagi penting. Balon gas melihat dan mengalami lebih banyak dari semua jenis balon. Itu yang penting. Demikian Mpret berusaha menjelaskan. Namun, tak ada yang mengerti kecuali ia karena mereka berdua memang sama. Hanya masalah waktu dan cara.
(halaman 305)

karakter Bong layaknya balon helium yang ingin terbang bebas

Baca juga: Sabtu Bersama Bapak

 

Hal Berbeda Dari Supernova 3: Petir

Sejujurnya saya tidak mau terlalu membanding-bandingkan Supernova 3: Petir ini dengan buku Dewi lestari lainnya karena itu akan mengaburkan fokus review Supernova 3: Petir sendiri, terutama bagi Artebianz yang belum membaca buku pembanding akan lebih sulit mendapatkan penilaian terhadap buku Supernova 3: Petir. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika membaca review buku yang terlalu membanding-bandingkan dengan karya lain dari penulis sama yang juga belum pernah saya baca.

Saya kehilangan fokus dan kehilangan poin penting yang seharusnya bisa didapatkan sebagai pertimbangan untuk membeli buku tersebut kemudian melahapnya hingga lembar terakhir. Namun tetap saja saya tergelitik untuk memberikan perbandingan, sedikit saja tentang hal-hal berbeda dari Supernova 3: Petir dan semoga ini tidak mengaburkan fokus serta poin penting dari review saya terhadap buku ini.

1. Tidak seperti Supernova 1: KPBJ yang dipenuhi istilah-istilah rumit yang sulit dikonsumsi otak berkapasitas pas-pasan, Supernova 3: Petir ini bersih dari hal-hal semacam itu. Saya bersyukur akan hal itu karena saya tidak perlu berpusing ria ketika pembaca. Saya cukup menikmati tanpa berpusing-pusing.

2. Tidak seperti Supernova 2 dan Supernova 4 yang menggunakan banyak tempat-tempat menarik sebagai latar cerita, Supernova 3: Petir hanya penggunakan satu kota tunggal: Bandung.

Namun Artebianz tidak diperbolehkan memandang sebelah mata. Kota Bandung menjadi sangat istimewa jika kita melihatnya dari sudut pandang Dewi lestari karena kota Bandung adalah kampung halamannya. Siapa pun akan menceritakan kampung halaman dengan penuh cinta. Siapa pun.

3. Tidak seperti Supernova 2 dan Supernova 4 yang diwarnai percakapan dalam Bahasa Inggris karena beberapa tokohnya memang orang bule, percakapan-percakapan di Supernova 3: Petir adalah percakapan orang pinggiran yang cenderung kasar. Tapi entahlah, itu malah terdengar hangat di telinga.

4. Dibanding dengan supernova lainnya, Supernova 3:Petir ini paling tipis. Saya melahapnya dalam waktu satu malam dan merasa belum kenyang, masih kurang saking enaknya.

5. Saya merasakan Dewi Lestari sangat menikmati ketika menulis Supernova 3: Petir lebih dari ketika menulis buku lainnya.

Baca juga: Mari Lari - Sebuah Cerita tentang Tekad Hati Lewat Langkah Kaki

 

Akhir Kata untuk supernova 3 : Petir

Segala yang saya paparkan di atas hanya sebagian kecil dari banyak hal menarik dari Supernova 3: Petir. Saya sarankan Artebianz harus membaca sendiri karena Supernova 3: Petir benar-benar bagus. Dari semua karya Dewi Lestari yang pernah saya baca, saya mengunggulkan Rectoverso, Filosofi Kopi, dan Supernova 3: Petir. Namun jika bertanya lebih dalam lagi ke diri sendiri, saya menyukai Supernova 3: Petir lebih dari lainnya.

Kalaupun nanti saya berkesempatan membaca Supernova 5: Gelombang dan Supernova 6: Intelejensi Embun Pagi, saya punya firasat akan tetap mengunggulkan Supernova 3: Petir sebagai terfavorit.

Sekian dan terima kasih.  

Baca juga: The Giving Tree: Cinta Adalah Bahasa Universal

 

 


Tag :


Amidah Budi Utami

Amidah Budi Utami adalah seorang perempuan yang bekerja di bidang IT dan menyukai seni, sastra, fotografi, dan jalan-jalan.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Prisca Primasari's Love Theft Series - He Who Steal Some Love


Pulau Menjangan: Candu Pesona Bawah Laut


Malam Minggu Miko Movie - Mockumentary Kegalauan Kaum Muda Indonesia


Lalu Abdul Fatah - Profesi, Delusi, dan Identitas Diri


Bakmi dan Sate Klathak Ala Djogdja: Menikmati Jogjakarta di Surabaya


Libreria Eatery - Tempat Pas untuk Memberi Makan Perut dan Otak


Pengelanaan Sempurna


Reason - Eva Celia: Sebuah Penemuan Jati Diri


Festival Foto Surabaya - Menggugah Kepedulian Melalui Lensa


Aku Tak Ingin Lomba Balap Karung, Bu.


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Empat)