H.O.S Tjokroaminoto: Priyayi dengan Profesi Teknisi Sekaligus Politisi yang Berjiwa Pendidik

01 Dec 2014    View : 7702    By : Niratisaya


“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator.”


Menyambung artikel yang mengangkat sosok guru muda, serta Hari Guru Nasional pada 25 November lalu, saya teringat pada sosok pahlawan yang sempat tinggal di Surabaya.

Namun tidak seperti sebelumnya—pada artikel mengenai seorang penulis muda, politisi, dan penulis yang karyanya selalu sensasional—Artebianz, figur yang saya angkat kali ini adalah seorang pria.

Figurnya tersohor karena pemikirannya yang bisa dibilang radikal pada saat itu. Semua kawan dan lawannya mengenalnya sebagai sosok yang memiliki tutur bahasa yang jelas dan tegas, tetapi juga lembut. Walau tak jarang menohok siapa pun yang menjadi sasarannya. Posisinya sebagai ketua Sarekat Islam (SI) di Surabaya dan perjuangan yang dilakukannya di masa penjajahan menjadikannya pahlawan pergerakan nasional. Namun Artebianz, jasanya tidak berhenti di sana. Ia juga sosok pendidik yang patut kita teladani.

Ia adalah Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto.

 

 

Sejarah Singkat H.O.S TJokroaminoto

Nama lengkap lelaki yang sempat tinggal di daerah Peneleh, Surabaya, ini adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Ia terlahir di Ponorogo, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Namun untuk tempatnya tidak ada sumber yang menyebutkan secara pasti. Beberapa menuliskan bahwa H.O.S Tjokroaminoto lahir di Ponorogo. Sumber lain menyebutkan bahwa ia terlahir di Madiun, tepatnya di Desa Bakur.

Ayah H.O.S Tjokroaminoto bernama Raden Mas Tjokroamiseno—salah seorang wedana kleco—sebuah jabatan pemerintahan pada saat itu, sedangkan kakeknya bernama Raden Mas Adipati Tjokronegoro. Beliau pernah menjabat sebagai adipati Ponorogo.

H.O.S TjokroaminotoGambar diambil dari ceritasurabaya.com.

Awalnya, H.O.S Tjokroaminoto mengikuti jejak kebangsawanan keluarganya. Ia menempuh pendidikan di OSVIA (sekolah untuk pamong praja) di Magelang. Setelah lulus pada tahun 1900, ia bekerja sebagai pangreh praja di Ngawi. Namun anak kedua dari dua belas saudara ini kemudian memutuskan untuk berhenti di tahun 1907.

Keputusan H.O.S Tjokroaminoto untuk keluar dari kesatuan pegawai administrasi bumiputera tersebut didorong oleh ketidaksukaannya terhadap praktik sembah-jongkok di lingkungan priyayi. Ia menganggap praktik tersebut kental dengan aroma feodalisme. Pada tahun yang sama H.O.S Tjokroaminoto memutuskan untuk hijrah ke Surabaya dan tinggal di kawasan Peneleh.

Antara 1907- 1910, di kota yang kemudian dijuluki sebagai Kota Pahlawan ini, H.O.S Tjokroaminoto bekerja di Firma Coy & Co. Selain itu, ia meneruskan sekolahnya di Burgelijek Avondschool dengan Jurusan Mesin. Ia lantas bekerja sebagai masinis pembantu, sebelum kemudian ditempatkan di bagian kimia di Pabrik Gula Rogojampi (1911-1912). Pada tahun-tahun inilah, minat mantan mertua presiden pertama Indonesia ini tampak dengan jelas, Artebianz.

Baca juga: Jejak Kaki Artebia: Menyusuri Sejarah Surabaya Edisi Siola

 

 

Politik, Peran Pendidik, dan HOS Tjokroaminoto

H.O.S Tjokroaminoto Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Sarekat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua pada Mei 1912. Pada saat yang nyaris bersamaan, ia sadar, untuk mengentaskan Indonesia dari praktik feodalisme tidak hanya dibutuhkan partai dan gerakan yang digagas oleh orang Indonesia sendiri. Dibutuhkan pula pendidikan yang tidak dicampuri oleh sistem Belanda. Oleh sebab itu, bersama istrinya, Raden Ayu Suharsikin, H.O.S Tjokroaminoto mendirikan rumah kost di rumahnya yang berada di kawasan Peneleh (Surabaya).

Di rumah mungil seukuran rumah tipe 36 yang dibeli dari seorang saudagar tersebut, H.O.S Tjokroaminoto menyalurkan ilmu agama, politik, dan keahliannya dalam berorasi. Apa yang dilakukan oleh H.O.S Tjokroaminoto ini tidak jauh berbeda dengan sistem pondok pesantren, atau sekolah asrama yang kita kenal, Artebianz.

Rumah HOS Tjokroaminoto

Dengan posisinya sebagai pemimpin partai, tidaklah aneh bila banyak yang berminat menjadi murid H.O.S Tjokroaminoto. Beberapa yang beruntung dan kemudian masuk ke dalam catatan sejarah negara kita adalah Soekarno, Muso, Alimin, Semaoen, Kartosoewirjo, Buya Hamka, Tan Malaka, dan Abikoesno. Pria yang menguasai bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan Inggris ini tak segan-segan untuk memberikan semua pengetahuannya pada anak-anak kostnya. Pun, dalam mentransferkan ilmunya, H.O.S Tjokroaminoto tidak mengekang para muridnya untuk mengikuti apa yang menjadi pahamnya. Sebaliknya, ia membebaskan tiap muridnya untuk mengembangkan semua yang mereka pelajari dari dirinya, sesuai dengan tafsiran dan pemahaman mereka.

Hal tersebut terlihat dari warna-warna dalam politik dan gerakan yang diambil oleh tiap murid H.O.S Tjokroaminoto. Perbedaan yang mencolok terlihat pada tiga murid pria yang jago berorasi ini, yakni: Soekarno yang cenderung beraliran nasionalis, Kartosoewirjo yang islamis, dan Muso-Alimin yang condong pada paham sosial-komunis.

Dari keberagaman pemahaman muridnya, dapat kita lihat bahwa—meski tidak serupa—ilmu  H.O.S Tjokroaminoto mengakar kuat dalam benak mereka. Ilmu dan pengetahuan yang mereka (Soekarno, Kartosoewirjo, dan Muso-Alimin) dapatkan kemudian menyatu dengan latar belakang keluarga, pendidikan, dan pekerjaan mereka masing-masing.

Sosok H.O.S Tjokroaminoto sebagai pendidik yang toleran dan moderat ini layak kita jadikan suri teladan. Meski tidak mengambil pendidikan sebagai guru, ia bahkan tidak terlahir dari keluarga pendidik, pria yang juga adalah seorang juru warta ini mampu memahami bahwa seorang pendidik tidak berhak mencampuri pemikiran dan cara berpikir muridnya. Seorang pendidik hanya berhak mentransferkan ilmunya, mendukung, serta membantu perkembangan cara berpikir muridnya.

Pemahaman H.O.S Tjokroaminoto atas sosok pendidik ini sesuai dengan peran guru sebagai orangtua kedua seorang anak ketika ia berada di sekolah. Dan sebagai pendidik, pria yang dijuluki Belanda “De Ongekroonde van Java” (Raja Jawa Tanpa Mahkota) karena jiwa pemimpinnya ini melaksanakan perannya dengan baik.

Baca juga: Melihat Sisi Lampau Surabaya Di Museum Surabaya

 

 

H.O.S Tjokroaminoto Sang Pahlawan dan Teladan dalam Kenangan

H.O.S Tjokroaminoto meninggal pada tanggal 17 Desember 1934 di Jogjakarta di umur 52 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Jogjakarta, setelah jatuh sakit seusai mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.

Meski delapan puluh tahun berlalu, sosok H.O.S Tjokroaminoto tidak akan pernah terlupakan. Ia masih dikenang sebagai pahlawan nasional yang melawan kaumnya sendiri (para priyayi) dan praktik mereka yang dianggapnya kental dengan feodalisme, serta oleh bangsa Indonesia yang telah merasakan imbas tak langsung dari pendidikannya kepada para tokoh politik besar negara ini.

Salah satu pesan yang terkenal dari H.O.S Tjokroaminoto kepada para muridnya adalah “jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator”. Kalimat yang ia lontarkan itu menyemangati para muridnya. Ia membuat Soekarno berteriak belajar pidato setiap malam—hingga membuat kawan-kawannya (Muso, Alimin, Kartosuwiryo, serta yang lainnya) terbangun dan tertawa menyaksikannya.

 

 

Referensi:

  • Amelz. H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
  • Tjokroaminoto, H.O.S. Sosialisme di dalam Islam, dikutip dari Islam, Sosialisme dan Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000.

Baca juga: Gedung De Javasche Bank Surabaya - Saksi Sejarah Panjang Perbankan Indonesia

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Figur Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Raga Senja Berjiwa Fajar: Sebuah Renungan Kemerdekaan Untuk Pemuda


Figur: Lia Indra Andriana - Dari Seorang Calon Dokter Gigi Menjadi Salah Satu Penerbit Berpengaruh


Happy Little Soul - Belajar Memahami Anak Dengan Penuh Cinta


Ada Apa Dengan Cinta? 2 - Setelah Beberapa Purnama Terlewati


Epik High's Happen Ending - Cinta dan Hubungan Antarmanusia


Nasi Goreng dan Mi Goreng Pak Is


Omahku - Ngobrol dan Nongkrong dalam Kesederhanaan


Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Kabupaten Malang (Bagian 1)


Nasib Literasi di Era Digitalisasi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Your Dream (Not?) Comes True


Sajak Orang Rantau