Mari Lari - Sebuah Cerita tentang Tekad Hati Lewat Langkah Kaki

13 Mar 2015    View : 6481    By : Niratisaya


Ditulis oleh  Ninit Yunita
Diterbitkan oleh  Gagasmedia
Disunting oleh  Ermi Aladjai & Rayina
Penataan letak oleh  Gita Ramayudha
Sampul oleh  Nation Pictures
Sampul akhir didesain oleh  Jeffri Fernando
Diterbitkan pada  Juni 2014
Genre fiksi, young adult, drama, family, slice of life, motivation
Jumlah halaman  184
Nomor ISBN  979-780-7363
Harga  IDR37.000,00
Koleksi  Perpustakaan Pribadi

 

Hidup itu seperti berlari maraton, tak ada pemberhentian, dan selalu butuh perjuangan untuk sampai pada satu titik bernama impian.
***
Rio telah lama meninggalkan sesuatu yang bernama rumah. Mencoba menemukan pemberhentian untuk langkah yang semakin tak tentu arah. Namun, masih saja kecewa yang ia temukan dalam nyala mata orang yang ia kasihi, mengguratkan luka. Perih.
Rio pun hanya bisa menelan rasa kecewa, dan paling parah ia menyimpan kecewa kepada diri sendiri.
Kini, ia ingin berlari, dan terus berlari.
Berharap di ujung sana, ada kemenangan yang dapat ia raih dan berikan kepadanya. Juga kepada perempuan itu, yang selalu mengirimkan cinta dan rasa percaya, bahkan ketika Rio tak lagi percaya kepada dirinya sendiri.
Kau harus menyelesaikan apa yang telah kau mulai. Rio tercenung. Mencoba memperkuat pijakan kakinya.
Benarkah masih bisa kau temukan impian dan semangat saat segala-galanya sudah terlalu penat?



Impresi Saya terhadap Mari Lari

Sebelum akhirnya membeli Mari Lari karya Ninit Yunita, saya menghabiskan waktu berbulan-bulan berpikir dan membaca kembali sampul belakang novel ini saat mengunjungi salah satu toko buku online langganan saya. Kenapa?

Pertanyaan tersebut mengembalikan saya pada pengalaman membaca karya pertama, Kok Putusin Gue, Yunita bertahun-tahun lalu. Novel perdana Yunita yang diterbitkan oleh Gagasmedia itu bagi saya terasa ringan dan kurang menggigit. Gaya penceritaan simple Yunita hanya meninggalkan sedikit impresi dalam benak saya. Ketakutan inilah yang membuat saya batal membeli Chocoluv. But I do quite enjoying Test Pack, though. Hanya saja saya tidak terlalu yakin apakah saya akan membeli novel-novel Yunita lainnya.

Namun, tahun ini saya memutuskan untuk melupakan semua keraguan saya dan membeli Mari Lari. Dan terbukti bahwa ketakutan dan keraguan saya selama ini salah. Meski masih menyajikan gaya penceritaan yang simple, Yunita berhasil menarik saya ke dalam dunia ceritanya mengenai hubungan orangtua dan anak.

Yet, Mari Lari makes me like this simplistic style of Ninit Yunita.

Poster Film Mari Lari(Poster film Mari Lari - diambil dari fallenieynangel.wordpress.com)

 

Bagian per Bagian Mari Lari

Mari bicara tentang fondasi cerita fiksi, Artebianz. Layaknya kisah manusia yang tersebar di dunia, ada banyak pengalaman dan kejadian yang terasa serupa tapi tidak benar-benar sama. Demikian pula dengan cerita fiksi yang konon adalah mimesis dari kehidupan manusia. Dan cerita kehidupan tokoh utama dalam novel Mari Lari.

Sebenarnya tidak banyak hal baru yang ditawarkan oleh Yunita. Cerita yang telah diangkat ke layar lebar ini mengangkat tema utama hubungan anak-orangtua, sama seperti beberapa cerita yang telah beredar dan telah kita baca.

Akan tetapi, yang membedakan Mari Lari dengan novel lainnya adalah dimasukkannya poin marathon dalam kehidupan Rio dan ayahnya, Tio. Bagaimana Yunita meramunya menjadi 184 halaman cerita yang ringkas tetapi juga padat. Selain itu, saya juga cukup tertarik dengan format penceritaan alur maju-mundur novel ke-15 Yunita ini.

Nah, mari kita langsung lari menuju pembahasan poin per poin dari novel ini, Artebianz!

Baca juga: Cinderella Teeth - Kisah Cinderella dan Para Peri Gigi Modern


Kesederhanaan Bercerita ala Yunita

Poin pertama yang kita bicarakan di rubrik “Review Buku” kali ini tentu saja tentang gaya penceritaan Yunita yang sederhana.

Para penulis memiliki gaya masing-masing. Mulai dari cerita yang kompleks, diksi rumit, permainan metafora atau alegori. Atau justru menangkap gerak kehidupan secara sederhana dan apa adanya, seperti yang dilakukan oleh Yunita. Hal ini ditunjukkan oleh pilihan diksi yang digunakan oleh founder theurbanmama.com ini:

“Iya sedikit itu berapa? Dua puluh unit? Dua ratus unit? Dua puluh ribu unit?”
….
Ngg, nanti saya cek lagi, Pak.”
“Saya minta mobil ini dalam warna merah, bisa?”
Ngg, nanti saya cek lagi, Pak.” (hal. 5)

Novel ini berkisah tentang Rio, seorang lelaki yang tak yakin dengan hidupnya dan pilihannya. Bahkan saat dia menghadapi seorang pelanggan yang  ingin membeli salah satu mobil yang dijualnya. Cukup dengan ekspresi “ngg” yang digunakan Rio, saya sebagai pembaca bisa membaca karakter lelaki tersebut.


Kompleks Hubungan Manusia

Kita ketahui sejak dulu bahwa hubungan anak-orangtua cukup kompleks. Khususnya pada hubungan anak perempuan dengan ibunya, atau anak lelaki dengan ayahnya—seperti pada Mari Lari. Begitu ruwetnya hubungan ini, Sigmund Freud sampai membuat dua teori mengenai dua hubungan tersebut yang dikenal dengan istilah Electra-Complex dan Oedipus-Complex. Karena saking terkenalnya interaksi anak-orangtua. Namun, untuk kasus Rio, rasanya lebih tepat kalau dikatakan kompleksitas yang terjadi pada tokoh utama adalah proyeksi psikologi. Bahwa satu manusia merefleksikan kelebihan dan kekurangan manusia lainnya.

“Aku ingin punya anak yang bisa dibanggakan, Bu.”
“Suatu saat, dia pasti akan bikin kamu bangga, kok. Aku bangga sama dia.”
“Atas dasar?”
“Karena dia anak kita.” ( hal. 16)

Dari percakapan antara orangtua Rio, Tio dan Fitri, dengan  tersirat bahwa Tio melihat Rio sebagai bagian dirinya, yang semestinya sukses dan memiliki prestasi sama sepertinya sekarang ini. Ia menuntut Rio—kemungkinan besar—sama seperti Tio menekan dirinya sendiri hingga akhirnya dia berhasil seperti sekarang ini. Dia lupa bahwa Rio adalah individu yang berbeda darinya yang mungkin membutuhkan motivasi lain ketimbang yang digunakan Tio pada dirinya.

Baca juga: When the Star Falls - Yang Terjadi Ketika Bintang Terjatuh


Format Flashback ala Mari Lari

Hal lain yang saya sukai dari Mari Lari adalah bagaimana alur maju-mundur dalam novel ini diformat. Bak sebuah catatan yang bisa ditilik kapan pun oleh penulisnya, kenangan Rio bersama orangtuanya tertulis per masa. Ada sebuah “catatan” kenangan Rio saat dia masih kecil, juga ada “catatan” ketika Rio telah dewasa. Semua memperlihatkan warna hubungan Rio dengan kedua orangtuanya. Misalnya seperti pada halaman 23:

“Tujuh tahun kuliah gak selesai-selesai. Kenapa? JAWAB BAPAK KENAPA!”
“Rio…, Rio gak suka ekonomi, Pak.”
“JURUSAN INI KAMU SENDIRI YANG PILIH, RIO!” Tio menoyor kepala Rio. “Kamu gak pernah menyelesaikan apa yang kamu mulai!”

Bapaknya berlalu, setelah memberikan kata-kata yang, sejujurnya, layak Rio dapatkan.
Ibunya berlinang air mata, menatap suaminya masuk ke kamar. Dia berpaling pada Rio.
“Nak, kamu selesaikan ya, kuliah ini. Demi Ibu.”

Dari kutipan di atas terlihat jelas betapa berbedanya perlakuan yang didapatkan oleh Rio dari kedua orangtuanya. Dengan jelas, Rio mengingat kata per kata yang dilontarkan oleh Tio, yang tidak puas dengan “prestasi” Rio selama ini (selalu berhenti di tengah-tengah kegiatan yang dipilihnya sampai menghabiskan banyak waktu—dan biaya—untuk jurusan yang dipilihnya dengan alasan dia tak menyukainya). Rio yang merenungi masa lalunya sadar bahwa apa yang dilakukannya salah dan perkataan Tio layak diterimanya. Akan tetapi, sikap lembut ibunya selalu menjadi semacam solace—tempat pelarian Rio, setiap kali ia menghadapi masalah atau pertengkaran dengan ayahnya. Imbasnya, Rio tak pernah benar-benar serius menghadapi hidupnya.

Dan dalam format flashback yang dibuat mirip catatan yang digantung, Rio seakan-akan mengunjungi kembali "ruang" dalam masa lalunya dan melihat betapa beruntungnya ia dulu. Sebab, ibunya akan selalu ada di sana setiap kali Rio merasa down atau berbuat salah. Fitri adalah wujud nyata gambaran kasih sayang seorang ibu yang akan selalu membayang sepanjang masa. Namun, Rio di masa kini juga melihat bagaimana ibunya terjebak antara dirinya dan sang Suami.

Baca juga: Sang Alkemis: Perjalanan Pencarian Diri

 

Para Pelari dalam Mari Lari

RIO

Salah satu karakter Rio yang lain adalah ia mudah ragu:

“…. Mungkin, karena kamu memaksa terlalu keras? Kamu sering marah sama dia saat dia tidak bisa menyelesaikan sesuatu.
Mungkin, itu yang membuat dia jadi peragu. Jadi seperti ini. Ragu apakah jalan yang dia ambil itu benar. Dan, keraguan itu membuatnya jadi tidak pernah selesai mengerjakan apa pun.” (hal. 78)

Sebagai ibu, Fitri tahu benar kelebihan dan kekurangan Rio serta apa yang membuat anak lelakinya itu memiliki satu sifat tertentu. Sebagai pihak ketiga Fitri tentu tahu mengetahui tentang dua lelaki dalam kehidupannya. Di sini ia melihat bagaimana suaminya, sosok yang dominan dalam keluarga mereka, berusaha menekan Rio agar mencapai ekspektasinya.

Kemungkinan besar, Fitri juga menangkap betapa Rio ingin membahagiakan Tio lewat berbagai kegiatan yang dipilihnya (piano, karate, sampai homestay di luar negeri). Sayangnya, selain keinginan untuk membahagiakan Tio, dalam benak Rio juga terbayang sosok menakutkan Tio. Sehingga, ketika Rio mencapai titik jenuh sewaktu menjalani kegiatan ekstranya, ia pun memilih untuk menyerah.

Namun, di balik sifat peragunya, Rio sebenarnya adalah sosok yang lembut. Selama bertahun-tahun ia berada di dalam dominasi ayahnya, tetapi tidak sekali pun Rio berusaha melawan dengan kekerasan atau kata-kata kasar. Bahkan ketika sekali lagi Tio meragukan tekadnya untuk membuktikan bahwa ia benar-benar serius ingin menggantikan ibunya untuk ikut event Marathon Bromo, Rio tak mengatakan apa pun. Ia hanya membuktikan kata-katanya dan, saat berhasil membuktikan tekadnya, dengan elegan Rio meletakkan medali finisher-nya di kaca spion mobil ayahnya (hal. 154).

Beberapa dari Artebianz mungkin menganggap sosok Rio sebagai pecundang dan tidak pantas ditampilkan sebagai hero dalam novel ini. Akan tetapi, menurut saya sesekali waktu kita butuh membaca kehidupan sosok yang kita anggap sebagai pecundang seperti Rio untuk melihat dan merenungi kehidupan kita. Karena meski novel tak ubahnya seperti “pintu ke mana saja” Doraemon, tapi alangkah baiknya jika novel yang kita baca membuat kita melakukan refleksi tentang kehidupan kita sendiri.

Tio dan Rio(Lari menjadi salah satu mediasi bagi Tio dan Rio untuk memperbaiki hubungan ayah-anak)

Baca juga: The Giving Tree: Cinta Adalah Bahasa Universal

 

TIO

Pria yang memiliki nama senada dengan nama tokoh utama dalam novel ini adalah sosok yang selama ini mendominasi kehidupan Rio. Sebagai seorang ayah, Tio tampil sebagai sosok yang keras dan seolah tak bisa diganggu gugat, sekaligus lembut.

Dia [Rio] sudah lebih dulu ketakutan saat mendengar suara bapaknya yang menggelegar, membuatnya tak mampu berkonsentrasi dengan soal latihan yang diberikan.
“ARRRGHH!”
Tio mengambil buku Matematika Rio dan melemparnya ke lantai.
Tio pergi. Meninggalkan Rio yang menangis. (hal. 17)

Dari kutipan tersebut terlihat ada dualitas dalam diri Tio: sosok yang keras, dominan, dan mudah marah. Juga sosok yang lembut dan bisa dibilang penakut. Mengapa demikian? Memang, sekilas Tio tampak temperamental; dia berteriak lalu membanting buku Rio yang gagal memahami pelajaran yang diberikan oleh Tio. Namun, coba Artebianz perhatikan apa yang dilakukan oleh Tio setelah melempar buku Rio. Apa dia memukul anak semata wayangnya? Atau dia memaki-maki Rio? Tidak. Yang dilakukan oleh Tio adalah berjalan pergi, membiarkan Rio menangis.

Pada detik itu mungkin Tio menyesal melihat Rio menangis dan berpikir seandainya dia bisa lebih bersabar menghadapi anaknya. Namun Tio tak bisa melakukannya. Dia tak bisa berubah menjadi lembut dan sabar seperti Fitri sewaktu menangani Rio. Yang bisa dilakukannya adalah meninggalkan putranya sebelum ia melakukan sesuatu yang akan disesalinya nanti.

 

FITRI

Tempat Rio berlindung juga melepas segala kegundahan. Dialah yang selama ini membuat Rio mampu menjalani hidupnya. Hal ini mungkin karena Fitri adalah pihak ketiga yang melihat dengan gamblang bagaimana Rio dan Tio sebenarnya, di luar interaksi mereka.

“Mungkin, ekspektasi kamu yang ketinggian, Pak.”
Bapak berpikir lama.
“Gitu ya, Bu?”
“Aku ndak minta dia untuk ranking satu kok, Bu. Tapi, mbok ya, ndak ranking empat puluh amat gitu, lho.
Sang istri menghela napas panjang. “Coba kita kasih dia ruang dan waktu untuk berkembang….” (hal. 16)

“Semoga suatu saat, Rio bisa bikin Ibu bangga.”

Wajah Rio dipenuhi dengan tanda tanya.
“Coba, percaya sama diri kamu dulu. Buat dirimu bangga dulu. Itu yang penting….” (hal. 25)

Dua kutipan interaksi personal Fitri dengan Tio dan Fitri dengan Rio menunjukkan bahwa wanita lembut tersebut paham benar apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh suami dan anaknya. Tio menginginkan Rio agar tampil cemerlang. Tio melakukan apa yang umumnya dilakukan oleh para orangtua: memberi support lewat materi hingga, ketika Rio tak kunjung mencapai ekspektasinya, memarahi si anak. Tanpa diketahuinya, yang dibutuhkan Rio lebih dari dorongan materi. Hal utama yang dibutuhkan oleh Rio, dan mungkin tak disadari oleh Rio sendiri, adalah dorongan moril agar ia percaya bahwa apa pun yang dilakukannya akan berhasil.

Baca juga: To All The Boys I've Loved Before - Siapa Bilang Hati Manusia Hanya Bisa Untuk Satu Orang?

ANNISA

Sepeninggal Fitri, tokoh Annisa-lah yang muncul sebagai penyemangat Rio. Ia bagai angin sejuk yang membawa cerita dan kehidupan Rio pada dimensi lain. Sebuah tempat di mana kita tak hanya akan melihat abu-abu kehidupan sendu yang dijalani Rio, tetapi juga warna-warna damai juga cerah lewat interaksinya dengan Rio dan karakter lain.

Salah satu interaksi yang saya suka adalah ketika Annisa berinteraksi dengan atasannya (Himawan Poernama):

“Nanti malam, kita makan, yuk.”
“Gak bisa, Pak. Saya lari.”
“Gak bisa… Mas,” ralat Himawan.
“Gak bisa, Mas. Saya lari.”
“Kalo weekend gimana?”
“Wah saya lari juga, Pak.”

“Yaelah… lari melulu. Kamu apa udah gak capek lari terus di pikiran saya?” (hal. 62-63)

Kehadiran Himawan yang naksir pada Fitri di dalam Mari Lari sesaat membuat saya rileks. Memang kadang terkesan garing, tapi lumayan menghibur Smile


Scene dalam film Mari Lari(gambar diambil dari sebuahreviewfilm.com)



Akhir Kata untuk Mari Lari

Kalau diibaratkan sebagai hidangan, Mari Lari bak appetizer yang membuat saya bersemangat membaca karya Ninit Yunita. Dan terkadang kesederhanaan tidaklah sesederhana yang kita kira. Terkadang dia menghadirkan makna yang begitu dalam. Inilah kesan yang saya tangkap dari novel Yunita ini.

Sekarang saya penasaran dengan adaptasi versi layar lebarnya, Artebianz. Apalagi di sana ada Donny Damara, salah satu aktor yang menurut saya akting tidak bisa dan haram untuk diremehkan.

Baca juga: Everlasting - Terkadang, Ada yang Tak Bisa Dihapus Waktu

 

 

 

Your book curator,

N

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Filosofi Pohon Pisang Pada Hubungan Ayah Dan Anak


1001 Fakta yang Sulit Dipercaya: Mengejutkan Pikiran, Tidak Mungkin, dan Aneh!


Melihat Sisi Lampau Surabaya Di Museum Surabaya


Stand By Me Doraemon


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


Depot Asih Jaya, Pusat Soto Lamongan


7 Mal Dan Tempat Nongkrong Dengan Toilet Asyik Di Surabaya


Murni dan Tahun Baru


Reason - Eva Celia: Sebuah Penemuan Jati Diri


Literasi Agustus: GRI Regional Surabaya - Muda untuk Sastra


Sunyi yang Tak Dicari


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)