Wakul Suroboyo - Berwisata Kuliner Khas Surabaya di Satu Tempat

11 Oct 2015    View : 16280    By : Niratisaya


 

Seperti proses jatuh cinta, dari mata turun ke hati, demikian juga dengan pengalaman makan asyik saya kali ini. Pada satu kesempatan dan didorong keinginan impulsif untuk berjalan kaki, saya melewati salah satu tempat makan keren dilihat dan di lidah. Seperti pengalaman saya sewaktu mengunjungi La Ricchi. Dan tanpa menyia-nyiakan waktu, keesokan harinya saya langsung mengunjungi Wakul, Warung Kuliner, Suroboyo dan menikmati wisata kuliner di beberapa kota, bahkan negara, di sana.

Lha… gimana bisa jatuh hati sama makanan lha wong baru besok dicicipi?

Bagian Depan Wakul Suroboyo

Walau terdengar aneh, tapi entah bagaimana saya tertarik dengan cara Wakul Suroboyo mengemas dirinya. Alih-alih menampilkan kesan chic dan hip seperti beberapa tetangganya, rumah makan ala pujasera yang berlokasi di Jalan Indragiri No. 3 ini justru memperkuat karakter bangunan khas Belanda yang dihuninya. Kalaupun ada yang berkesan modern, itu adalah ruangan outdoor-nya yang ada di teras atas.

Tapi mungkin juga pengalaman berwisata kuliner saya selama ini membuat saya terbiasa dan bisa menebak, mana tempat yang asyik dan mana yang cenderung mediocre serta cenderung larut dalam mengikuti trend.

Jadi, saya pun masuk ke dalam Wakul Suroboyo memesan beberapa macam makanan dan menikmati waktu saya di sana.

Jadi, seberapa nikmat makanan dan suasana Wakul Suroboyo?

I’ll tell you my exciting and tummy-satisfying experience at Wakul Suroboyo, Artebianz!

Baca juga: Mojok dan Makan Mi di Pojok II, Perak, Jombang 

 

Wakul Suroboyo: Good Food, Great Hospitality, Good Ambiance

Sebelumnya, izinkan saya mengucapkan terima kasih pada Pak Bondan Winarno yang mempopulerkan wisata kuliner dan mendorong perkembangan usaha restoran dan sejenisnya di Indonesia. Tapi di sisi lain, keberadaan restoran, rumah makan, dan usaha food and beverage juga membawa dampak lain: penonjolan desain oleh tempat-tempat mengisi perut demi menciptakan ambiance yang asyik, serta fasilitas semacam Wi-Fi agar nggak dinilai tempat makan udik. Tapi justru melupakan poin terpenting: kualitas makanan dan minuman yang mereka sajikan.

Luckily, I found myself Wakul Suroboyo that has all three important components of food and beverage business—according to my personal experience ya, Artebianz.

Tiga komponen penting itu adalah makanan enak, ambiance yang pas dan bagus, dan keramahan para pegawainya.

 

Taste-Test Wakul Suroboyo

Sesuai namanya, Wakul Suroboyo menyediakan beragam makanan. Dan sewaktu saya mengatakan beragam, saya nggak main-main Artebianz!

Kamu pengin nyari makanan khas Jawa semacam tahu campur, tahu tek, rujak, sayur asem, sampai penyetan khas Suroboyo?

Ada!

Wakul Suroboyo bahkan punya jajanan pasar yang tradisional seperti klanting, lupis, dan lepet. Ada juga botok, pepes, dan aneka masakan sederhana khas masakan rumahan lainnya.

Sementara untuk minuman, Wakul Suroboyo menyediakan kopi, jus, sampai minuman tradisional seperti sinom dan beberapa lainnya.

Bebek Songkem_Wakul SuroboyoKalau sudah nyoba bebek sinjai, kamu perlu juga mengenal saudaranya: bebek songkem

Yang pengin olahan mi, Wakul Suroboyo juga punya berbagai varian mi. Mulai dari yang sering kita dengar (mi ayam, mi ayam jamur, dan lain-lain) sampai mi kluntung milik Pak Mitro—yang jujur saja baru saya dengar sewaktu mengunjungi Wakul Suroboyo.

Dan, karena Wakul Suroboyo adalah rumah makan yang menjanjikan makanan khas Suroboyo, tentu nggak lengkap tanpa sajian khas Arab dan Belanda.

Artebianz bertanya-tanya saya memilih apa?

Sebagai arek Suroboyo yang lahir dan besar di Kota Pahlawan ini, tentu saja, menu pertama yang saya pilih adalah tahu campur.

Baca juga: Warung Wulan - Resto All You Can Eat Murah Meriah

 

Tahu Campur_Wakul SuroboyoThis is it! Tahu campur Wakul Suroboyo tanpa lemak yang ngendal.

Here’s the thing about tahu campur that I had tasted: karena merupakan olahan daging, kebanyakan tahu campur yang saya sempat nikmati mengandung lemak yang berlebih di kuah, atau si penjual sendiri yang memasukkan jeroan dan gajih (lemak) ke piring saya. Walhasil, saya sering merasakan sensasi lemak yang  mengendal di langit-langit mulut saya. Atau melihat miniatur peranakanan karang dan lumut di piring (baca: lemak).

Tapi nggak demikian dengan tahu campur khas Wakul Suroboyo.

Selain memiliki kuah yang terasa bersih dari lemak, sewaktu menyeruput kuah tahu campur Wakul Suroboyo, saya bisa merasakan bumbu-bumbu makanan. Begitu saya mengaduk tahu campur dan sambal yang ada di piring, plus pasta petis yang di bagian dasar piring, rasa tahu campur Wakul Suroboyo jadi lebih kaya lagi.

Kalaupun ada yang kurang, mungkin itu adalah sambal tahu campur yang nggak terlalu pedas. Saya pecinta masakan yang bumbu dan penyuka pedas :D

Sementara itu, sebagai wakil dari kuliner ala Belanda, saya memilih semur lidah.

Semur Lidah_Wakul SuroboyoSeporsi semur lidah Wakul Suroboyo dan kehangatan rasa yang terselip di dalamnya.

Alasan saya memilih semur lidah di antara semua menu khas Belanda di Wakul Suroboyo (sup kentang yang terlihat cenderung padat di gambarnya, sup kacang merah, atau sosis ayam khas Belanda) adalah karena saya sebenarnya ragu; apa benar masakan di Wakul Suroboyo ini terjamin kualitasnya? Mengingat kuantitas dan ragam masakan yang ada di sana banyak banget.

Dan, saya nggak salah pilih. Sebagai pengenalan lidah (pun intended Laughing) semur lidah adalah pilihan yang pas untuk mereka yang pengin menjajal masakan Belanda khas Surabaya. Kamu, Artebianz, bisa merasakan bumbu-bumbu yang digunakan dalam masakan semur. Mulai dari pala, tomat, merica… nggak ada yang mendominasi.

Sebaliknya, bumbu-bumbu dalam semur lidah Wakul Suroboyo seolah saling bekerja sama menciptakan sensasi yang menyamankan indra pengecap saya.

Sekaligus membangkitkan memori semasa kecil saya. Jadi, sewaktu saya SD kelas 1 atau TK B, saya sempat dirawat di Rumah Sakit Vincentius A Paulo (yang lebih dikenal dengan RKZ di Surabaya). Yang paling saya ingat adalah makanan rumah sakit itu.

Berbeda dengan menu rumah sakit yang terakhir kali saya cicipi, RKZ saat itu memberikan saya menu yang super delish untuk ukuran rumah sakit, yaitu daging cincang halus dan bubur. Dan, rasa semur lidah Wakul Suroboyo sangat mendekati menu RKZ yang satu itu. Rasanya seperti kembali ke masa kecil dan merasakan kehangatan dan keramahan para suster.

Sedangkan untuk mi kluntung, saya nggak menikmatinya secara langsung. Sebagai gantinya, saya meminta master saya di dunia icip-icip alias ibu saya untuk mencicipi kuliner andalan Pak Mitro ini. Ada tiga macam sajian mi kluntung: mi kluntung goreng, mi kluntung nyemek, dan mi kluntung kuah. Jenis mi kluntung yang saya pilih saat itu adalah mi kluntung nyemek.

Mi Kluntung Pak Mitro
Maaf, Artebianz. Karena nggak sempat memfoto, akhirnya saya pinjam gambar dari Wakul Suroboyo.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya baru mendengar dan melihat secara langsung wujud mi kluntung saat mengunjungi Wakul Suroboyo. Bentuk mi kluntung mirip udon, mi khas Jepang. Bedanya mungkin mi kluntung agak kecil.

Mi kluntung nyemek menurut salah seorang pegawai Wakul Suroboyo adalah varian mi kluntung yang agak-agak basah, sesuai namanya (nyemek), tapi nggak terlalu berkuah seperti salah satu “saudaranya”.

Sewaktu membuka paketan take out mi kluntung nyemek, saya mendapati beberapa bagian mi kluntung seperti di dalam gambar: suwiran ayam, potongan telur rebus, kuah untuk membuat mi kluntung jadi lebih nyemek, dan acar ketimun.

Sebagai perkenalan, mi kluntung Pak Mitro ini lumayan savoury. Hanya saja, setelah masuk sendokan kelima, kuah mi kluntung terasa enek. Mungkin ini karena alih-alih menuangkan kuah secukupnya, kami menuangkan semua kuah yang ada. Selain itu, ibu saya yang pecinta acar berkomentar acar untuk mi kluntung ini terasa pahit.

Tapi ini bukan pengalaman icip-icip yang buruk. Asal kita menuangkan kuah sesuai definisi “hanya untuk merendam mi kluntung” dan bukannya menggenangi mi kluntung. Dan, mungkin pihak Wakul Suroboyo bisa mencicipi ketimun yang akan digunakan untuk acar. Supaya sewaktu menikmati mi kluntung fokus pengunjung nggak teralih pada rasa pahit acar.

Untuk pencuci mulut, saya memilih jajanan pasar yang dalam satu piring berisi tiga varian yang saya sebutkan sebelumnya.

Jajanan Pasar_Wakul SuroboyoKlanting, Lepet, dan Lupis. Jajanan tradisional yang sederhana dan sehat. Nyam!

And boy, Artebianz! Sekali lagi Wakul Suroboyo membawa saya pada kenangan masa kecil, pada saat-saat jajanan nggak aneh-aneh dan bercampur bahan-bahan asing untuk perut. Baik lupis, lepet, maupun klanting yang ada dalam satu porsi menu jajanan pasar semuanya pas dan lekker! Dua jempol buat Wakul Suroboyo.

Selain jajanan pasar, saya juga memesan kebab durian dari menu aneka olahan durian Wakul Suroboyo. Awalnya saya ingin mencicipi sambosa—atau samosa, ya? Saya kurang tahu, tapi karena di buku menu Wakul Suroboyo tertulis sambosa, saya akan menggunakan istilah itu di sini. Sayangnya, menu sambosa sedang kosong. Jadilah saya memesan kebab durian, semata-mata karena saya penasaran.

Kebab Durian_Wakul SuroboyoKebab Durian dan menu Wakul Suroboyo yang super gedhe dan menggoda.

Berbeda dengan jajanan pasar yang sangat tradisional dan ngena banget di lidah saya, saya merasa “terasing” sewaktu mencicipi kebab durian. Mungkin karena ini pertama kali saya mencicipi kebab yang diolah menjadi pencuci mulut yang manis, bukannya salah satu menu makanan utama yang savoury. Dan rasanya semakin membingungkan sewaktu lidah saya merasakan gurih dari kulit kebab, manis khas durian, asinnya keju, manis dari susu yang malang melintang di atas semuanya. Semua makin terasa aneh sewaktu saya mendapati bahan rahasia lain yang bersembunyi di antara durian dan kebab.

Tapi… buat Artebianz yang hobi banget berpetualang rasa, menu fusion ini cocok buat kamu coba.

Sebagai pendamping semua menu makanan Wakul Suroboyo saya memilih sebotol air mineral dan jus buah sirsak, yang ngejleb banget rasa dan teksturnya. Alih-alih mendapati segelas tinggi jus sirsak yang cair, saya mendapatkan segelas tinggi jus sirsak yang kental—nyaris seperti smoothie.

Order Warung Kuliner SayaSome of my orders. Wujud apresiasi dan rasa terima kasih saya pada Wakul Suroboyo atas pelayanannya.

Buat Artebianz yang penasaran apa saya memakan semua pesanan di tempat dalam sekali duduk…. Jangan khawtir! Wink

Saya memesan semuanya, melakukan sesi pemotretan, lalu meminta pegawai Wakul Suroboyo untuk membungkus beberapa untuk saya nikmati di rumah bersama keluarga.
Kenapa saya merasa perlu menyebutkan hal ini? Bukan, saya nggak sedang membuat justifikasi. Sebaliknya, saya sedang membuat pembuka—penghubung untuk poin berikutnya Smile

Baca juga: Lembah Rolak

 

Wakul Suroboyo, Its Great Ambiance and Hospitality

Sejak pertama kali melihat bagian depan Wakul Suroboyo, saya mendapatkan feeling bahwa rumah makan ini adalah salah satu jenis rumah makan yang menjanjikan makanan yang nyam! dan ambiance yang enak. Tapi itu baru feeling saya. Saya sendiri nggak terlalu berharap banyak sewaktu masuk ke dalam rumah makan yang berhadap-hadapan dengan sebuah warung penyetan. Takut kalau saya mengharapkan sesuatu, akhirnya nanti malah kecewa. Yang terjadi malah sebaliknya.

Begitu melangkah masuk, saya disambut suasana kalem nan adem ala rumah di tahun 60an yang membuat saya teringat pada film Habibie Ainun dan film-film yang dibintangi pasangan legendaris: Sophan Sophian dan istrinya, Widyawati. Dan lagu-lagu kenangan Indonesia yang menggema di ruangan makin menambah nyaman.

Pojok Bar Minuman_Warung KulinerPojok tempat pegawai Wakul Suroboyo menyiapkan minuman.

Bisa jadi ini karena pemilihan warna yang gradasinya masih dalam satu dekat "ordonya" krem, kuning, cokelat. Serta dominasi kayu untuk furnitur di beberapa ruangan yang ada. Selain itu, desain interior yang terkesan minimalis menambah suasana nyaman Wakul Suroboyo. Meski kesan homey nggak terlalu terasa, terutama dengan gerobak-gerobak yang menjual menu makanan Wakul Suroboyo di sekeliling ruangan indoor rumah makan ini.

Tapi, bisa jadi juga suasana ramah dan nyaman itu diakibatkan gerobak-gerobak dan menu makan Wakul Suroboyo yang menguarkan aroma bumbu-bumbu khas masakan Indonesia, yang terkenal bumbu dan rempahnya melimpah ruah. Dan tentu saja, karena aroma-aroma itu sudah akrab di hidung kita, Artebianz.

Walau memiliki banyak pegawai, saya nggak menemukan kesan sesak atau para pegawai kelewas-kelewes saat bekerja. Sebaliknya, yang saya tangkap sepanjang berinteraksi adalah keramahan dan kesigapan mereka melayani pengunjung. Apalagi mengingat saya sempat merepotkan mereka dengan memesan, memotret, lalu meminta makanan yang sudah saya pesan untuk dibungkus. Muihihihi….

Tapi di sisi lain, ini membuktikan pelayanan Wakul Suroboyo layak diacungi empat jempol!

Baca juga: Gedung De Javasche Bank Surabaya - Saksi Sejarah Panjang Perbankan Indonesia

 

Wakul Suroboyo and My Final Comment

Segala tentang Wakul Suroboyo membuat saya excited. Sebenarnya, saat pertama kali masuk, saya dibuat bingung. Bukan karena penataan ruangan yang semrawut, tapi karena setiap bagian indoor di Wakul Suroboyo memiliki tema-tema tersendiri yang tampak menggoda.

Ruang Indoor Pertama Wakul Suroboyo

Sewaktu pertama kali masuk, Artebianz akan disambut meja-meja kayu kecil dan beberapa meja kayu panjang untuk keluarga besar atau rombongan. Kemudian di bagian lain, ada meja dan kursi yang memanfaat bentuk dan warna asli kayu—tanpa pelitur saya rasa, sehingga menimbulkan kesan country.

Ruang Indoor Kedua Wakul Suroboyo

Di sebelah bagian country, ada ruangan yang lebih hip dengan satu meja panjang dari kayu, serta kursi berlapis kulit palsu warna hitam dan meja dari besi yang tampak mencolok di dekat tembok.

Ruang Indoor Ketiga Wakul Suroboyo

Hal kedua yang membuat saya bingung adalah banyaknya menu makanan yang tersedia dan nyaris semuanya menggoda. Format buku menu yang nggak terlalu berbeda dengan myKopi O, dalam artian besar seperti koran, nggak terlalu membantu. Rasanya saya malah pengin datang tiap hari ke Wakul Suroboyo dan mencicipi tiap menu yang ada! Apalagi saya sudah membuktikannya sendiri, bukan sekadar tergoda rincian dari blog para tetangga.

Teras di Lantai Atas Warung Kuliner

Sayangnya, dibanding ruangan indoor, bagian teras outdoor yang ada di atas terasa kurang terawat. Mungkin karena nggak banyak pengunjung yang memilih ruangan ini. Padahal dengan penataan yang lumayan dan pohon yang melindungi pengunjung dari teriknya matahari, ruangan outdoor ini bisa jadi tempat kongkow yang asyik.

Bagian Luar Warung Kuliner

All in all, I really, really enjoy my time at Wakul Suroboyo. Ah, and my tummy too! Laughing
I highly recommend this restaurant for you, Artebianz. Khususnya buat Artebianz yang pengin ngadain reuni atau kegiatan rame-rame lainnya. Saya nggak akan lelah mengulangi alasan kenapa saya menyarankan Wakul Suroboyo; karena mereka punya good food, good ambiance, and good hospitality.

Punya pengalaman yang serupa dengan saya di tempat yang mirip? Atau punya rumah makan/restoran yang bisa menandingi Wakul Suroboyo? Kamu boleh share di sini Smile

Baca juga: Widyoseno Estitoyo: Pebisnis Muda, Aktivis Sosial, Dan Pekerja Seni

 

Alamat  Jl. Indragiri No. 3 Surabaya
Jam operasi

 Senin-Jumat: 10.00 pagi - 11.00 malam
 Minggu: 07.00 pagi - 11.00 malam

Telepon  +62 31 568 4111
Harga  Rp8.000,00 sampai Rp125.000,00
Pembayaran  tunai, kartu debit, Visa, Mastercard
Fasilitas

 WiFi

Situs

 wakulsuroboyo.com

Facebook

WAKUL Suroboyo

 

Peta Wakul Suroboyo

 

Rating Wakul Suroboyo:

Rating makan

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Makan Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Perempuan, Terlahir Sebagai Penghuni Neraka


Edwin Ruser dan KoreanUpdates - Menghidupkan Mimpi Lewat Passion


Priceless Moment - Yang Disisakan Waktu Ketika Ia Berlalu


Billionaire a.k.a Top Secret: Kisah Sukses Seorang Pengusaha Muda


Blinded by Love - Karena Cinta Sungguh Membutakan


Warung Wulan - Resto All You Can Eat Murah Meriah


Heerlijk Gelato


House Of Sampoerna: Sebuah Album Kenangan Kota Surabaya


Deja Vu: Pesta Ketiga WTF Market di Surabaya (Bagian 2 - End)


My Toilet Prince - Pintu Pertama


Oma Lena - Part 1


Biru, Rindu